28 Oktober 2007

MELIHAT KEMBALI ARAH GERAKAN POKJA-PENDIDIKAN GRATIS DIY

MELIHAT KEMBALI ARAH GERAKAN POKJA-PENDIDIKAN GRATIS DIY

oleh:

Unggul Sudrajat

Suka-Duka Perjalanan..

Satu tahun lebih POKJA-Pendidikan gratis DIY berdiri, suka-duka terasa mewarnai arah gerak lembaga yang konsen pada ranah pendidikan ini. Ya, kelompok Kerja (POKJA) Pendidikan Gratis DIY ini semenjak dideklarasikan tepatnya bulan Juli 2006 lalu telah banyak berkiprah dalam dunia pendidikan di Daerah Istimewa Yogyakarta ini, wilayah wacana tentang pendidikan di DIY ini hingga advokasi pendidikan telah menjadi agenda yang konsen dibahas dan dilakukan di POKJA Pendidikan Gratis DIY.

Para pegiat POKJA Pendidikan Gratis DIY terdiri dari elemen-elemen masyarakat yang peduli terhadap masalah pendidikan. Elemen dari LSM, Gerakan Mahasiswa maupun individu-individu serta lembaga-lembaga yang saling mengikrarkan diri di dalam sebuah wadah perjuangan bersama yang disebut dengan POKJA Pendidikan Gratis DIY. Proses yang terbangun selama lebih dari satu tahun ini menjadi sebuah perjuangan yang sangat berharga bagi para pejuang yang berada di POKJA ini. Dimulai dari diskusi-diskusi ringan hingga seminar pendidikan dan aksi jalanan turut meramaikan gerakan POKJA Pendidikan. Tidak ketinggalan, Isu-isu yang berkembang diseputar dunia pendidikan menjadi bahan pendukung dan menarik untuk dikaji dan ditindaklanjuti. Dimulai dari kasus pungutan Mark-Up seragam pada waktu proses Penerimaan Siswa Baru (PSB) di SMAN 2 Bantul pada tahun 2006 yang sempat menjadi sorotan hangat di beberapa media massa baik lokal maupun nasional waktu itu. Booming dari kasus tersebut adalah sewaktu dilanjutkan hingga pelaporan ke Kepolisian Daerah (POLDA) DIY. Akan tetapi seperti retorika politik yang selalu terjadi, kasus tersebut hanya ditutup dengan ketidak jelasan akan siapa pihak yang salah dan bertanggung jawab dalam kasus Mark-Up seragam tersebut.

Dinas Pendidikan Bantul sebagai pihak yang seharusnya ikut bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi dijajarannya ternyata berkilah bahwa tidak terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh SMAN 2 Bantul. Proses intimidasi yang dilakukan oleh pihak sekolah terhadap siswa tidak lupa mewarnai jalannya pengusutan kasus tersebut. Akhirnya sebagai lembaga formal dan Institusi yang legal serta sah dimata hukum, posisi sekolah tersebut lebih kuat dibandingkan dengan posisi pelapor dari kawan-kawan Sapurrata ( Solidaritas Pelajar Peduli Orang Tua) bantul yang melakukan pelaporan. Bahkan salah seorang pengajar yang ikut melaporkan kasus tersebut kepada pihak yang berwajib juga mendapat ancaman akan diberhentikan sebagai pengajar di sekolah tersebut. Setelah kasus itu mereda, muncul kebijakan proteksi yang dilakukan oleh pihak sekolah terhadap orang asing yang datang ke sekolah, bahkan terhadap alumni SMAN 2 Bantul sendiri.

Kasus SMAN 2 Bantul banyak memberikan pelajaran berharga bagi perjuangan POKJA Pendidikan kedepan. Belajar dari kasus tersebut, proses yang dibangun dalam menangani kasus-kasus seperti yang terjadi di SMAN 2 Bantul dilakukan dengan lebih terorganisir dan lebih matang.

Aksi jalanan menjadi salah satu cara perjuangan yang dilakukan di POKJA Pendidikan Gratis DIY. Semboyan “Berjuta kali turun Aksi, bagiku satu langkah pasti” menjadi jargon yang selalu mengiringi aksi-aksi POKJA Pendidikan di jalan. Dari jalanan hingga gedung dewan tidak pernah absent dalam aksi-aksi yang dilakukan oleh POKJA Pendidikan dalam menyuarakan aspirasi terhadap masalah pendidikan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tanggal 2 Mei selalu menjadi momentum besar yang digunakan POKJA untuk turun ke jalan. Dari Education For All (EFA) hingga pendidikan gratis menjadi tema orasi-orasi yang dilakukan dalam aksi. Tidak kurang dari seratus orang lebih turun kejalan sewaktu peringatan hari pendidikan nasional 2 Mei 2007 kemarin, dengan rute aksi Depan UII Jl.Cik Di Tiro-SMP 5 Yogyakarta-SMA 3 Yogyakarta-DPRD DIY dan terakhir perempatan Kantor Pos besar.

Agenda pun terus berlanjut dengan tambahan tenaga dari Voulonter-voulonter baru yang bergabung di POKJA Pendidikan Gratis DIY. Hearing dan road show ke beberapa daerah, misalnya ke Sukoharjo dalam rangka studi banding masalah penerapan pendidikan Gratis membawa hasil yang memuaskan dalam pembahasan rancangan pendidikan gratis di DIY. Atas dasar itu kemudian mencullah wacana untuk membuat buku sebagai media sosialisasi dan komunikasi kepada masyarakat. Dalam buku tersebut POKJA Pendidikan tidak hanya berwacana dalam wilayah pikiran akan tetapi juga menuliskan dalam bentuk hitungan dan kalkulasi anggaran yang dibutuhkan dari APBD untuk mewujudkan pendidikan gratis di DIY. Setelah perjuangan panjang akhirnya terbitlah buku kuning MENUJU PENDIDIKAN GRATIS DIY. Landasan filosofis, ideologis dan yuridis tidak lupa dituangkan dalam buku tersebut yang memperkaya khasanah penulisan dan materi dalam buku tersebut. Bertepatan dengan peluncuran tersebut adalah saat dimulainya Proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) DIY 2007. Lagi-lagi POKJA Pendidikan terpanggil untuk mengawasi dan memantau jalannya proses PPDB/PSB DIY tahun ajaran 2007/2008. Atas dasar itu, maka dibentuklah Posko-posko pemantauan PPDB/PSB DIY yang didirikan di seluruh kabupaten dan kota di DIY. Posko-posko tersebut didirikan diantaranya di kabupaten Bantul tepatnya di depan masjid Agung Manunggal Bantul (rencana semula juga akan didirikan di depan kampus ISI, akan tetapi karena kurangnya SDM yang akan berjaga di Posko maka tempat tersebut ditiadakan), Sleman di lapangan Denggung Sleman, Kulonprogo di Sekretariat JAMAS P2KP, Gunung kidul di depan alun-alun Gunungkidul dan terakhir di depan SMP 5 yogyakarta( Sedianya di kota Yogyakarta akan didirikan 2 posko, satu posko di depan SMP 5 Yogyakarta dan satunya lagi bunderan UGM, akan tetapi karena keterbatasan SDM dan ke-efisienan SDM yang akan bermobilisasi maka posko hanya didirikan di depan SMP 5 yogyakarta).

Hasil yang dicapai sangat memuaskan dari sepuluh hari perjalanan Posko. Sebanyak 120 aduan masuk di seluruh posko dengan posko kota sebagi penyumbang terbesar banyaknya aduan yang masuk. Proses penyampaian masalah aduan dari masyarakat terkait besarnya biaya sumbangan yang harus dibayarkan oleh orang tua wali murid kepada pihak sekolah, biaya uang seragam, besaran kuota pendaftaran dari luar kota ke kota hingga bermasalahnya Kartu Menuju Sejahtera (KMS) terus dilakukan POKJA Pendidikan Gratis kepada pihak maupun Instansi terkait. Dinas pendidikan, baik propinsi maupun kabupaten kemudian kalangan DPRD baik propinsi maupun kabupaten dan juga Dewan pendidikan Propinsi maupun kabupaten menjadi partner dalam proses pengawalan dan pemantauan PPDB/PSB DIY.

Ada banyak janji-janji yang dilontarkan oleh para stake holder pendidikan tersebut. Dimulai dengan pernyataan dengan”Iya, akan kami tindak lanjuti aduan yang telah saudara berikan, hingga Ah!, itu berita tidak benar!Sekolah kami tidak melakukan hal tersebut!” seakan menjadi retorika jawaban yang membosankan dalam setiap pertemuan dengan instasi terkait tersebut.

Proses pelaporan yang dilakukan oleh POKJA Pendidikan Gratis ternyata mempunyai dampak yang signifikan dalam proses PPDB/PSB. Terbukti dengan adanya posko dan laporan yang hampir setiap hari di blow-up oleh media mampu memberi efek jera terhadap sekolah-sekolah yang nakal. Sekolah-sekolah yang biasa melakukan pungutan liar menjadi agak lebih lunak dan hati-hati dalam melakukan penarikan. Mereka memilih untuk melakukan penarikan 2 bulan pasca siswa diterima sesuai dengan Peraturan Gubernur (PERGUB) No. 7 tahun 2007. Dan untuk sementara suasana menjadi relatif tenang …

Dimana POKJA Pendidikan Gratis DIY?

Masa tenggang 2 bulan telah berlalu hingga tulisan ini dibuat. Janji yang dulu selalu didengung-dengungkan oleh para Stake holder pendidikan DIY sampai hari ini belum begitu memberikan hasil yang signifikan dalam proses penanganan aduan dari masyarakat terkait masalah PPDB/PSB. Penarikan uang seragam dan sumbangan bagi sekolah yang belum dilaksanakan pada 2 bulan lalu sekarang telah dilakukan dan seolah-olah hal ini dibiarkan saja tanpa ada tindak lanjut maupun pengawasan yang dilakukan oleh Instansi berwenang dalam hal ini Dinas Pendidikan dan instansi-instansi terkait maupun oleh POKJA Pendidikan Gratis DIY.

POKJA Pendidikan Gratis DIY? Ya!.Dimana semangat POKJA yang dulu begitu bersemangat dalam mewacanakan masalah beserta isu-isu pendidikan? Mana realisasi janji untuk terus melakukan pengawasan dan pemantauan proses PPDB/PSB hingga 2 bulan kedepan? Mungkin pertanyaan-pertanyaan inilah yang dilontarkan oleh masyarakat yang dengan harapan pasti masih menanti gerak langkah POKJA dalam menyikapi masalah ini. Beberapa waktu lalu di harian Kedaulatan Rakyat ditulis tentang mahalnya biaya uang sumbangan biaya gedung sekolah dan uang seragam yang harus dibayarkan oleh orang tua kepada pihak sekolah. Contoh kasus berada di SD Serayu dan SMP 5 Yogyakarta yang oleh Dinas Pendidikan hal itu dianggap wajar karena waktu pemungutan telah sesuai dengan Peraturan Gubernur No.7 tahun 2007.

Mari Bergerak dan Bersatu!

Wacana diatas menjadi keprihatinan dalam arah gerakan POKJA pendidikan Gratis DIY. Perlu segera dilakukan Re-Sceduling kembali agenda-agenda POKJA Pendidikan Gratis DIY agar tidak terjadi Dis-Orientasi gerakan POKJA kedepan. Selain itu perlu dibangun kembali proses-proses komunikasi dean koordinasi di tingkatan internal POKJA sendiri agar tidak terjadi Dis-Komunikasi sehingga agenda yang telah disusun dan disepakati bersama dapat segera terlaksana. Kurangnya komunikasi yang terjadi antara lembaga di tingkatan Internal POKJA harus segera dibenahi dan ditata ulang kembali. Bila memungkinkan Musyawarah Besar POKJA Pendidikan Gratis DIY perlu dilakukan sebagai awalan untuk melakukan pembenahan ditingkatan internal. Harapannya dalam MUBES tersebut dapat diangkat permasalahan-permasalahan yang menjadi ganjalan dalam perjuangan POKJA Pendidikan. Jangan sampai ada permasalahan-permasalahan yang dibiarkan berlarut-larut di dalam wilayah hubungan internal antar lembaga yang tergabung di POKJA Pendidikan. Karena hal-hal inilah yang nantinya bisa merusak hubungan dan perjuangan bersama di dalam memperjuangkan pendidikan gratis Daerah Istimewa Yogyakarta.

Semoga apa yang ditulis ini dapat menjadi semangat dan tenaga baru bagi perjuangan POKJA Pendidikan Gratis DIY kedepannya.

Berikut saya kutip pernyataannya Rich De Vos;

Tidak cukup bila kita berpikir tentang kepedulian sosial, Kita harus bertindak dengan penuh kepedulian sosial”.

Saatnya bergerak, Mari bangun perubahan demi terwujudnya Pendidikan Gratis DIY yang berkualitas..

Salam Pembebasan,

Salam Pendidikan Gratis..

Hidup Rakyat Indonesia!!..

Yogyakarta, 7 Oktober 2007

Unggul Sudrajat

01 Oktober 2007

Undangan Pertemuan Pokja Pendidikan Gratis dan Buka Puasa

Kepada Teman2 Pokja Pendidikan Gratis,

Melanjutkan agenda pertemuan sebelumnya di GMNI, mengundang pertemuan kembali kawan2 untuk konsolidasi Pokja dan Buka Puasa Bersama pada:


Hari, tgl : Rabu, 3 Oktober 2007
Tempat: LOD DIY
Jl. Tentara Zeni Pelajar No. 1A Pingit Kidul Yogyakarta
Waktu: 15.30 WIB - Magrib.

Demikian Tlg disebarluaskan,

25 September 2007

Undangan Pertemuan Pokja dan Buka Puasa

Pertemuan pokja di Sekretariat GMNI, Rabu, 26 September 2007, jam 15.30 WIB- BB. Alamat Pedak Baru No. 16 Karangbendo Sorowajan Banguntapan Bantul. Cp Sudezdi: 0813 9230 9084

19 September 2007

PENDIDIKAN UNTUK SEMUA: Gratis Bagi Masyarakat, Mahal Bagi Negara


Oleh Sunarto


Pendidikan dasar gratis bagi masyarakat DIY kini terus menjadi perbincangan berbagai kalangan. Bagi mereka yang berada dalam wilayah kekuasaan kependidikan masih beranggapan bahwa pendidikan tidak mungkin gratis. Dibarengi dengan berbagai argumen yang dibangun untuk mencitrakan bahwa pendidikan itu mahal dan perlu partisipasi (uang) masyarakat. Yang menarik adalah sambutan Gubernur DIY pada Hardiknas Mei 2007, yang dapat disimpulkan bahwa pendidikan gratis perlu dipikirkan dan diupayakan di wilayah DIY. Di Propinsi DIY sangat berpotensi, mengklaim sebagai

Kota Pendidikan mestinya lebih mengutamakan warganya agar mudah mendaptkan akses pendidikan secara gratis dan bermutu. Perlu diingat bahwa, di daerah lain sudah bukan hal yang istimewa, seperti Sukoharjo, Jembrana, Banyuasin, Natuna dan lainnya, kini telah menyelenggarakan pendidikan dasar dan menengah gratis bagi warganya. Demikan pula pada daerah yang biaya hidup dan harga keperluan sekolah mahal, Pemprov DKI Jakarta sudah memberikan pembiayaan gratis bagi siswa sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) Negeri di Jakarta.

Harapan dari rintisan dana BOS 2005-2006, Mendiknas berharap, dana BOS itu seharusnya masih ditambah biaya operasional pendidikan (BOP) yang ditanggung APBD sehingga sudah memadai untuk menuntaskan program wajib belajar baik gratis maupun mendekati gratis di Indonesia. BOS adalah subsidi dari pemerintah pusat, tetapi tanggung jawab utama untuk pendidikan dasar dan menengah serta Madrasah Ibtidaiyah kewenangannya ada pada pemerintah kabupaten/kota. BOS itu hanya bantuan saja dari pemerintah pusat terhadap pembiayaan pendidikan kabupaten kota. Jadi mestinya pembiayaan pendidikan yang utama berasal dari pemerintah kabupaten/kota. Namun justru beberapa pemerintah kabupaten/kota yang menjadikan BOS sebagai pendapatan utama sementara anggran daerah hanya sebagai pelengkap saja bahkan ada yang menghentikan sama sekali BOP setelah adanya BOS.

Secara umum di DIY masih menghadapi masalah akses dan pemerataan pendidikan. Masih adanya siswa putus sekolah, baik dengan alasan ekonomi maupun non ekonomi. Disamping itu, kurang meratanya kualitas pendidikan di Propinsi DIY. Pola pikir dan kemampuan profesional guru belum memuaskan, mis. berkaitan dengan implementasi kurikulum baru (KTSP). Sementara beberapa sekolah mencanangkan diri sebagai sekolah standar nasional bahkan internasional yang menurut mereka berkonsekwensi pada kenaikan biaya pendidikan. Menurut para ahli bahwa peningkatan standar ini hanya lebih berkonotasi pada peningkatan teknologi serta sarana dan prasarana saja, namun tidak menyentuh pada subtansi mutu yang sesungguhnya. Akibat klaim standar ini menciptakan opini masyarakat bahwa sekolah-sekolah ini tidak memberikan akses yang adil terutama masyarakat miskin yang ingin memperoleh fasilitas pendidikan dari negara. Yang dikhawatirkan munculnya stigma diskriminasi dalam pendidikan, orang miskin dilarang sekolah di DIY. Mudah-mudahan tidak.

Sesungguhnya kita telah mempunyai komitmen yang dituangkan dalam Peraturan Perundangan terhadap pendidikan di Indonesia, berikut

A.1. Undang-Undang Dasar 1945, Bab XIII, Pasal 31:

(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.

(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya

A.2. Undang-Undang Dasar 1945, Bab XIII, Pasal 31

(3) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

B. UU Sisdiknas tahun No 20 Tahun 2003:

a. Bagian Keempat, Pasal 11

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.

(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.

Bab VIII pasal 34 ayat 2: “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”. Konsekwensi yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah adalah memberikan alokasi dana untuk membiayai seluruh komponen Biaya Satuan Pendidikan, apapun kemampuan keuangan Pemerintah.

Pendidikan gratis yang dimaksud adalah bermakna membebaskan siswa dari seluruh pungutan yang dibebankan pada siswa. Jika kita berkomitmen DIY menuju Wajib Belajar 12 Tahun (Anak usia sekolah wajib menyelesaikan pendidikan minimal SMA/Sederajat) yang dituangkan dalam Grand Strategy Pembangunan di Pemda Propinsi DIY dan RPJM Pemda Propinsi DIY tahun 2006-2011. Implikasinya semua rintangan yang menghalangi anak menempuh pendidikan menengah atas harus dihilangkan. Demikian halnya dalam Visi Pememerintah Kota Jogjakarta yang sering disampaikan dalam berbagai media oleh para pejabat bahwa : Tidak ada penduduk usia sekolah (TK sd SMU/SMK) di Kota Yogyakarta yang tidak sekolah karena alasan ekonomi

Bahwa pendidikan adalah hak warganegara yang harus diberikan oleh negara (Pemerintah) kepada rakyatnya. Kesulitan rakyat terhadap akses memperoleh pendidikan yang merata dan memadai harus disikapi dengan upaya tanggungjawab Pemerintah mewujudkanya melalui alternatif kebijakan yang tepat. Masyarakat yang notabene secara umum belum bisa secara mandiri membiayai proses pendidikan dasar-menengah bukan terus menerus dijadikan sasaran mobilisasi dana. Pemerintahlah yang harus berinisiatif mengupayakan alokasi anggaran dengan strategi dan kebijakan yang berpihak pada rakyatnya bukan senantiasa beralibi pada bayang-bayang kesulitan dan kekhawatiran yang kurang masuk akal. Masyarakat belum melihat pemanfanfaatn anggaran pemerintah secara optimal, karena peluang pemborosan masih sangat lebar. Selain itu belum terasa upaya sungguh-sungguh dari pemerintah melayani masyarakat dalam memperoleh jaminan pendidikan secara wajar.

Kelompok Kerja Pendidikan Gratis Jogjakarta telah mencoba menghitung kebutuhan operasional sekolah dalam satuan Unit Cost dalam bentuk Kertas Posisi. Penghitungan ini berdasarkan hasil survey RAPBS di DIY, berkaitan dengan pemanfaatan dana BOS tahun 2006. Penggunaan dana BOS rata-rata di DIY masih mendekati 48% dari total biaya operasional sekolah. Kekurangannya (52 %) ditambahkan hingga mencapai unit cost kebutuhan sekolah di DIY. Mestinya APBD kita akan menanggung kekurangan dari subsidi dana BOS tsb. Hasil hitungan ini bukan kategori kebutuhan minimal, bahkan dapat dikategorrikan pada level mendekati kebutuhan pelayanan prima.

Hasil kerja Pokja Pendidikan DIY semata-mata ingin memberikan gambaran umum kebutuhan total anggaran yang harus disediakan Pemerintah Kabupaten/ Kota. diharapkan menjadi salah satu acuan, sebagai bahan estimasi prosentase anggaran pendidikan disesuai data. Disimpulkan sementara bahwa kebutuhan total anggaran pendidikan berdasarkan unit cost dikalikan jumlah usia sekolah di masing-masing tingkatan di Kab/ Kota wilayah DIY berkisar 9% dari total APBD. Tentu akan ada variasi antar masing-masing Kabupaten / Kota. Biaya ini berkaitan langsung dengan kebutuhan operasional sekolah, bukan untuk biaya tidak langsung seperti dana pembangunan gedung dsb. Maka diharapkan setiap warga yang terkena wajib belajar akan mendapatkan jaminan biaya sekolah dari Pemerintah. Mudah-mudahan tulisan ini dapat mengundang berbagai pihak untuk turut mendukung mewujudkan Pendidikan Gratis bagi masyarakat dan mahal bagi negara. Karena negara telah berkomitmen untuk mensejahterakan rakyatnya, bukan membiarkan saja warganya “berkompetisi” tidak pasti dalam memperoleh pelayanan pendidikan.

Sunarto, dr

Anggota Pokja Pendidikan Gratis

Tulisan ini pernah dimuat diharian Bernas Jogja pada hari Selasa, 28 Agustus 2007

11 September 2007

PERAN HUKUM DALAM MENGAWAL PENDIDIKAN DI INDIA

PERAN HUKUM DALAM MENGAWAL PENDIDIKAN DI INDIA

“Setiap anak mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan gratis hingga berumur 14 tahun dan selanjutnya menjadi subyek pembatasan dari kapasitas ekonomi dan pembangunan dari negara bagian”
- Uni Krishnan, J.P. dan Ors. Vs. State of Andhara Pradesh and Ors. -

A. Perkembangan Pendidikan di India

India telah menjadi pijakan utama dalam nilai-nilai pembelajaran dari masa ke masa. Namun demikian, ketika negara India memiliki beberapa universitas terbaik di dunia, seperti BITS, ISB, IITs, NITs, IISc, IIMs, AIIMS, mereka masih harus mengatasi tantangan dalam pemenuhan pendidikan dasar guna mencapai angka 100% melek huruf. Pendidikan dasar dan wajib yang bersifat universal, disertai dengan tantangan untuk menjaga anak-anak dari keluarga kurang mampu untuk bersekolah, serta menjaga kualitas pendidikan di daerah pedalaman, menjadi kendala terberat untuk menuntaskan target tersebut. Hingga kini hanya negara bagian Kerala yang telah melakukan pencapaian target tersebut. Seluruh tingkat pendidikan, mulai dari tingkatan pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, menjadi perhatian khusus dari Department of Higher Education dan Departement of School Education and Literacy. Pada tingkatan tersebut diberikan subsidi sangat besar oleh Pemerintah India, meskipun terdapat wacana menjadikan pendidikan tinggi untuk mencari pembiayaan sendiri secara terpisah.

Menurut catatan pemerintah Inggris, pendidikan adat yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat India telah hilang pada abad ke-18 dengan suatu pola di mana terdapat satu sekolah untuk setiap kuil, masjid atau desa yang berada hampir di seluruh wilayah negara India. Bidang pendidikan yang diajarkan pada saat itu meliputi teknik membaca, menulis, aritmatika, teologi, hukum, astronomi, metafisika, etika, ilmu kedokteran, dan agama. Sekolah-sekolah tersebut umunya diikuti oleh perwakilan pelajar dari seluruh lapisan masyarakat.

Sistem pendidikan India saat ini menggunakan pola dan substansi yang diadopsi dari negara barat, di mana pertama kali diperkenalkan oleh negara Inggris pada abad ke-19 yang merupakan rekomendasi dari Macaulay. Struktur tradisional tidaklah dikenal oleh pemerintahan Inggris dan struktur demikian telah dihapuskan pada saat itu juga. Mahatma Gandhi menjelaskan bahwa sistem pendidikan tradisional merupakan suatu pohon ilmu yang sangat indah, namun telah dihancurkan selama berkuasanya Inggris di negara tersebut. Sejarah mencatat bahwa universitas kedokteran pertama di negara bagian Kerala dimulai di Calicut pada tahun 1942-1943 pada masa perang dunia kedua. Dikarenakan kurangnya dokter untuk dapat diabdikan pada tugas militer, Pemerintah Inggris memutuskan untuk membuka cabang Universitas Kedokteran Madras di Malabar yang kemudian berada di bawah Kepresidenan Madras. Setelah berakhirnya perang, universitas kedokteran di Calicut ditutup dan para pelajar tersebut melanjutkan studinya di Universitas Kedokteran Madras.

Dalam kurun waktu 1979-80, Pemerintah India melalui Departemen Pendidikan meluncurkan suatu program bernama Non-Formal Education (NFE) untuk anak-anak berumur kelompok 6 hingga 14 tahun yang tidak dapat bergabung dalam sekolah reguler. Anak-anak ini termasuk mereka yang putus sekolah, anak yang sedang bekerja, anak-anak dari area yang tidak terdapat akses untuk sekolah, dan sebagainya. Fokus utama dari pola ini ditujukan untuk sepuluh negara bagian yang memilik pendidikan terbelakang.. Selanjutnya, program ini diteruskan untuk daerah pedalaman termasuk daerah perbukitan, pedesaan, dan gurun di negara-negara bagian lainnya. Hingga kini program tersebut masih berlangsung di 25 negara bagian. 100% perbantuan diberikan kepada organisasi sosial secara sukarela untuk menjalankan pusat NFE tersebut.

B. Konstitusi India
“Hak untuk memperoleh pendidikan meliputi pendidikan dasar maupun menengah.”

- State of Maharastra Vs. Sant Dhayaneswar Shiksha (2006) 9 SCC 1 -

Menurut Mahkamah Agung India, hak untuk memperoleh pendidikan mengalir dari Pasal 21 Konstitusi India yang memuat tentang perlindungan untuk hidup dan kebebasan pribadi. Isi dan parameternya harus dideterminasikan dan tidak terlepas dari Pasal 41 yang menjamin hak untuk bekerja, bersekolah, dan pertolongan umum di berbagai kondisi. Pada Pasal 45 juga ditegaskan pendidikan gratis dan wajib untuk setiap anak hingga umur 14 tahun. Pengadilan Tinggi telah menyatakan bahwa Pasal-Pasal dari Konstitusi India tersebut dapat dilaksanakan oleh Negara Bagian baik melalui pendirian lembaga pendidikan, mendanai, memperkenalkan dan/atau mencarikan afiliasi untuk menyediakan lembaga pendidikan lainnya.

Perkara Uni Krishnan dan Perkara Mohini Jain merupakan dua perkara yang seringkali menjadi rujukan dalam hal ini. Perkara Uni Krishanan berbeda dengan Perkara Mohoni Jain, di mana dalam perkara tersebut hak untuk memperoleh pendidikan merupakan subyek yang dibatasi oleh kapasitas ekonomi dan pembangunan negara bagian. Setelah bertahun-tahun diputusnya perkara penting ini, situasi menjadi tidak sederhana untuk dipecahkan. Akibatnya, pemerintah mengeluarkan UU Amandemen Konstitusi (amandemen ke-68) pada tahun 2002 dengan menambahkan Pasal 21A. Pasal tersebut secara lengkap dapat dibaca sebagai berikut, “The State shall provide free and compulsory education to all children of the age of 6 to 14 years in such manner as the state mau, by law, determine”.

Ketentuan atas hak untuk memperoleh pendidikan menjadi terkedala untuk mememuhi ekspektasi semula ketika realitas di lapangan menunjukkan hal lain, khususnya realita terhadap masalah kemiskinan. Situasi di India dan seluruh perekonomiannya yang masih dan sedang berkembang yaitu memerangi kemiskinan, di mana terus menjadi akar sejarah perkembangan India. Kemiskinan melahirkan kemiskinan. Mata rantai dari kemiskinan meniadakan ratusan ribu anak-anak untuk memperoleh pendidikan. Progres suatu negara bergantung juga pada pembangunan dari populasinya. Pendidikan merupakan senjata utama untuk mencapai hal yang sama. Bagamanapun juga, penyebaran buta huruf di India akan terus berlanjut jika pemerintah tidak mengalirkan dana yang cukup untuk menjalankan lembaga-lembaga pendidikan miliknya. Setelah lima dekade dari kemerdekaannya, lebih dari 50% dari anak-anak mengalami putus sekolah. Jenis kelamin menjadi salah satu dari pembedaan yang signifikan dari buta huruf, di mana terkarakteristik oleh nilai dan sistem patriarki yang sangat kuat. Tingkat melek huruf mendekati angka 64% untuk laki-laki dan 39% untuk perempuan. Pendidikan adalah suatu nilai dari masyarakat yang berbudaya dan rendahanya mutu pendidikan menjadi salah satu alasan utama dari kejahatan yang sulit untuk ditoleransi.

Oleh karenanya, analisa terhadap Konstitusi India menguatkan adanya eksistensi pasal-pasal mengenai pemberian hak kepada setiap individu untuk mendidik dirinya sendiri. Pasal 45 menggambarkan ketentuan atas pendidikan gratis dan wajib bagi anak-anak. Negara harus berupaya keras untuk menyediakan, pendidikan gratis dan wajib untuk anak-anak hingga mereka berumur 14 tahun dalam jangka waktu sepuluh tahun dari permulaan Konstitusi tersebut. Konsistensi terhadap posisi pasal tersebut lebih menekankan kewajiban Negara daripada daripada orang tua. Undang-undang Wajib Pendidikan yang telah disahkan di 14 Negara Bagian dan 4 Wilayah Kesatuan menyisahkan persoalan impelemtasi akibat tekanan sosial-ekonomi yang menyebabkan anak-anak jauh dari sekolah.

C. Kebijakan Pendidikan India

Kebijakan Nasional Pendidikan 1986 merupakan satu dari beberapa langkah maju yang dilakukan melalui penyediaan pendidikan dasar dan rekomendasi atas pendidikan gratis dan wajib dalam rangka pemenuhan kualitas bagi seluruh anak hingga berumur 14 tahun sebelum abad ke-21. Tujuan dari universalisasi pendidikan dasar bersumber pada tiga aspek: Petama, akses dan pendaftaran secara universal; Kedua, daya ingat yang universal dari anak hingga umur empat belas tahun; dan Ketiga, membawa peningkatan substansial kualitas pendidikan yang memungkinkan seluruh anak untuk mencapai tingkatan yang esensial dalam belajar. Kebijakan pemerintah yaitu untuk memotivasi anak agar menghadiri kelas secara reguler dan untuk meningkatkan fasilitas dalam sistem persekolahan, menyediakan pelatihan untuk guru, dan meningkatkan kemahiran belajar dari anak; serta melaksankan pendidikan wajib dengan langkah-langkah yang mempunyai sanksi.

Upaya lainnya terhadap pemenuhan pendidikan gratis yaitu melalui Pemerintah Negara Bagian, yang telah secara aktif menghapuskan biaya sekolah pada Sekolah Negeri hingga sekolah dasar tingkat atas. Usaha-usaha juga telah dilaksanakan oleh badan-badan lokal dan institusi donor swasta untuk menjadikan pendidikan benar-benar gratis dalam segala hal.

Dalam perkara Coomon cause v. Union of India (Perkara No. 697 Tahun 1993), Pemohon menuntut kepada Pengadilan untuk meminta Pemerintah menyediakan segala fasilitas demi pencapaian target universal, pendidikan gratis dan wajib untuk anak hingga berumur empat belas tahun, paling lambat di akhir tahun 1999. Setelah mendengarkan keterangan para pihak, Hakim yang bersangkutan menolak untuk mengabulkan permohonan Pemohon dan menyarakan kepadanya untuk menarik kembali permohonan tersebut.

Peluang untuk mengesahkan suatu undang-undang mengenai pendidikan gratis dan wajib serta implikasi dalam penerapannya telah dibahas dan menjadi diskursus yang sangat menarik selama sekian tahun. Setelah dilakukan analisa mendalam oleh berbagai ahli, wajib pendidikan dasar juga disadari akan membawa dampak positif terhadap penghapusan buruh anak.

Perkembangan setiap negara maju, dan kini diikuti oleh negara berkembang, mereka telah mendeklarasikan bahwa seluruh anak yang berumur enam hingga duabelas atau empatbelas tahun harus mengenyam pendidikan sekolah dasar. Terlepas dari seberapa besar kebutuhannya, tidak ada satu orang tua pun yang diizinkan untuk memutus pendidikan anak dari sekolah. Bahkan, sekolah yang dihadirinya akan dipantau oleh badan otoritas lokal dan pemerintahnya akan diwajibkan untuk menyediakan sekolah dasar dalam jarak yang wajar untuk seluruh anak dalam usia sekolah. Oleh karenanya, undang-undang yang dibuat memuat kewajiban secara spesifik bagi anak, orang tua, badan-badan lokal, dan pemerintah. Pegawai lokal, para pengajar, dewan pengurus sekolah dapat mengunjungi rumah orang tua sang murid yang telah memindahkan anaknya dari sekolah guna memberitahukan bahwa menghadiri kelas adalah wajib. Dalam waktu beberapa tahun implementasi norma tersebut telah menyadarkan seluruh negeri India bahwa seluruh anak harus datang ke sekolah. Suatu norma seperti ini dapat lebih dilaksanakan oleh berbagai tekanan masyarakat dibandingkan tekanan oleh badan yang berwenang. Salah satu pandangan yang menguatkan ketentuan tersebut bahwa kebijakan ini merupakan ekspresi dari “political will” dan hal tersebut mengirimkan pesan kuat kepada masyarakat internasional bahwa India sangat serius dalam menghapuskan buruh anak.

Terdapat juga satu pemikiran lain yang meyakini bahwa ketentuan hukum dengan menyediakan pendidikan wajib mungkin bukan suatu solusi yang efektif untuk situasi dan keadaan di negara India. Pengalaman dari negara Afrika menunjukan bahwa legislasi seperti wajib sekolah seharusnya tidak diperkenalkan, hal mana terdapat tempat-tempat di mana anak ingin terdaftar di dalamnya tetapi mereka tidak dapat diterima karena minimnya infrastruktur dan ketersediaan ruangan. Negara-negara bagian di India yang hampir mendekati target universalisasi pendidikan dasar seperti di Kerala dan Tamil Nadu, legislasi akan dapat membantu mereka yang keluar dari sekolah. Pemikiran seperti ini memberikan argumen bahwa sangatlah penting untuk tidak hanya meningkatkan anggaran umum pada dunia pendidikan tetapi juga memperkenalkan cara-cara untuk mengurangi pembiayaan sekolah. Walaupun hal tersebut merupakan solusi yang parsial, menurut mereka, hal itu lebih penting untuk kepentingan orang tua yang mungkin merasakan bahwa kesempatan dan biaya sekolah masihlah sangat tinggi. Hal ini secara esensial dapat dilihat sebagai permasalahan sikap, yaitu sikap dari orang tua terhadap pendidikan anak-anak mereka, sikap negara terhadap buruh anak dan terhadap peningkatan kualitas sistem pendidikan. Suatu legislasi tidak dapat dengan sendirinya ditegakkan.Langkah-langkah kuat dalam hal penegakkan juga harus didirikan.

D. Kritik terhadap Sistem Pendidikan India

Pendidikan modern di India seringkali dikritisi karena mendasarkan pada sistem penghafalan. Penekanan ditujukan pada lulusnya nilai ujian dengan persentase yang tinggi. Beberapa institusi memberikan pentingnya pengembangan kepribadian dan kreativitas di antara pelajar. Akhir-akhir ini, pemerintah terbebani dengan menaiknya tingkat bunuh diri dari pelajar dikarenakan kegagalan dan rendahnya nilai, khususnya pada kota-kota besar di India, walaupun kasus seperti ini sangat jarang.

Banyak pihak yang juga mengkritisi terhadap kebijakan reservasi berdasarkan kasta, bahasa, dan agama dalam sistem pendidikan India. Pada kenyataannya hanya sedikit kasta rendah yang memperoleh manfaat dari reservasi tersebut dan juga terjadinya pemalsuan surat keterangan kasta dalam jumlah yang cukup banyak. Lembaga pendidikan juga memberikan kesempatan kepada kaum minoritas (selain Hindu) atau minoritas status bahasa. Lembaga seperti ini, 50% dari kursinya disediakan untuk pelajar dari agama tertentu atau mereka yang mempunyai bahasa ibu tertentu. Misalnya, banyak universitas dijalankan oleh Jesuist dan Salesian memiliki 50% kursi yang disedikan untuk agama Katholik.

Dalam hal bahasa, suatu lembaga dapat membuat ketentuan bagi para pengguna bahasa minoritas hanya pada negara bagian di mana bahasa tersebut bukanlah bahasa resmi. Contohnya, universitas teknik dapat menentukan sendiri sebagai lembaga bahasa minoritas (Hindi) pada negara bagian Maharashtra, di mana bahasa remsinya adalah Marathi, tetapi tidak bisa diterapkan di negara bagian Madhya Pradesh or Uttar Pradesh yang juga menggunakan bahasa resminya Hindi. Reservasi seperti ini di satu sisi memang menguntungkan kaum minoritas, tetapi di sisi lain dapat menjadi penyebab keretakan di antara banyak komunitas. Begitu banyak pelajar dengan nilai rendah diterima masuk, sedangkan mereka yang memiliki nilai baik terkadang tidak dapat diterima. Kritik dilayangkan bahwa reservasi seperti ini sangat mungkin menciptakan kerenggangan di tengah-tengah masyarakat. Korupsi yang menjamur di India juga menjadi wacana penting dalam sistem pendidikan India.

Pendidikan adalah fondasi dasar bagi setiap perbuatan ekonomi dan fondasi ini perlu dilindungi dari perbuatan korupsi dan diskriminasi berbasis elemen-elemen dalam masyarakat. Jika hal ini tidak segera diselesaikan, berbagai sistem pada pemerintahan akan melemah. Oleh karenanya Komisi Hukum India merekomendasikan agar kompleksitasnya sistem pendidikan di India untuk segera diperbaiki, jika tidak sistem peradilan di India pun bisa jadi membuat interpretasi keputusan yang beragam atas sistem yang telah ada.

POKJA PENDIDIKAN GRATIS

POKJA PENDIDIKAN GRATIS

Latar Belakang

Penerimaan Siswa Baru (PSB) Propinsi DIY tahun 2006 lalu di satu segi mulai ada kemajuan dalam sistem pelaksanaan, yaitu sudah mulai digunakannya PSB Real Time Online (RTO) –khususnya di kota Yogyakarta- dengan harapan lebih transparan (penerimaan calon siswa sesuai kemampuan dan meminimalisir KKN) serta cepat diakses banyak pihak utamanya calon siswa dan orang tua siswa. Namun segi lain, mesti diakui PSB 2006 tersebut kembali menuai banyak permasalahan utamanya terkait “komersialisasi dalam pembiayaan pendidikan” utamanya di sekolah-sekolah negeri (yang selama ini telah mendapatkan kucuran dana publik baik APBN maupun APBD). Permasalahan klasik yang terjadi dari tahun ke tahun tersebut semakin mencuat menjadi problem utama masyarakat tatkala “komersialisasi pendidikan” pada PSB 2006 tersebut tetap berlangsung meskipun baru saja terjadi bencana gempa bumi di DIY 27 Mei 2006 lalu. Bencana gempa yang mestinya menumbuhkan empati dan solidaritas kemanusiaan (serta kebangsaan) oleh multi pihak termasuk pengelola pendidikan (pelaksana PSB 2006) karena pasca gempa 27 Mei 2006 tersebut ribuan warga DIY meninggal, cacat (difabel) baru, dan sakit. Belum lagi ratusan ribu rumah rusak berat, sedang dan ringan. Pun banyaknya warga yang kehilangan mata pencahariannya karena hancurnya sentra-sentra perekonomian.

Peraturan tentang Penerimaan Siswa Baru (PSB) memang sudah dibuat, baik di tingkat propinsi, maupun kabupaten/kota di DIY dalam bentuk Pergub, Perwali/Perbup (SK) maupun SE Kepala Dinas Pendidikan Propinsi/Kab/Kota, namun implementasi di lapangan ternyata pungutan oleh sekolah bertajuk “sumbangan pendidikan” kembali terulang dan masih saja amat tinggi hingga jutaan rupiah. Ironinya lagi “sumbangan pendidikan” ini oleh sekolah dipakai untuk menentukan jadi tidaknya calon siswa bersekolah padahal calon siswa sudah diterima dalam seleksi (terlihat jelas, yaitu dengan adanya klausul batas waktu pembayaran dan pernyataan kalau tidak bersedia sama dengan mengundurkan diri). Komite Sekolah yang diharapkan menjadi wakil sekaligus “penyambung aspirasi” orang tua siswa baru sebagian besar cenderung malah diam, bahkan mendukung penuh kebijakan sekolah dalam bentuk pengesahan RAPBS (Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah). Orang tua calon siswa baru (yang sudah lolos seleksi) akhirnya hanya menjadi “obyek” kebijakan pungutan tersebut, karena belum masuk dalam kepengurusan Komite Sekolah.

Dampak komersialisasi pendidikan tersebut, terjadilah kasus pungutan sekolah jutaan rupiah. Dampak tersebut labih diperparah dengan adanya kasus mark-up uang pengadaan seragam yang dilakukan oleh hampir semua sekolah di DIY yang tidak jelas untuk apa sisa uang puluhan, bahkan ratusan juta rupiah keuntungan dari mark-up seragam tersebut. Harus diakui minimnya kontrol (pengawasan) dan lemahnya penegakam hukum atas peraturan PSB tersebut menjadi picu utama dari kembali mencuatnya kasus “komersialisasi pendidikan” disamping memang tidak ada sanksi tegas atas dilanggarnya peraturan tersebut.

Orang tua siswa yang sudah menjadi korban gempa menjadi semakin berat dengan kondisi yang ada tersebut. Banyak cara yang dilakukan orang tua untuk mengatasi permasalahannya tersebut. Ada yang hanya bisa “ngrundel’ saja, namun tetap membayar meski terpaksa dan berat hati (termasuk dengan hutang terlebih dahulu ke pihak lain) demi sekolah putra-putri tercinta, ada yang langsung minta keringanan pembayaran uang “sumbangan pendidikan” di sekolah, ada yang mengadu ke Lembaga Ombudsman Daerah (LOD DIY) DIY, dan ada pula yang minta bantuan advokasi dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pemberitaan di media massa juga mengabarkan langkah lanjutan advokasi, yaitu adanya somasi terhadap beberapa sekolah yang melakukan pungutan saat PSB dan diikuti pelaporan ke Polda DIY membuat kita terhenyak adanya kasus nyata di dunia pendidikan DIY.

Pasca adanya advokasi PSB 2006 ini memang ada sebagian sekolah yang akhirnya “merespon” dengan memberikan kebijakan dispensasi bagi siswa dari keluarga korban gempa (hingga pembebasan sumbangan pendidikan), bahkan ada proses pemeriksaan sebagian kepala sekolah oleh bawasda (namun tidak ada kejelasan hasilnya hingga hari ini). Berangkat dari fakta kelam tersebut secara umum harus diakui belum ada perubahan yang berarti dalam pelaksanaan PSB 2006. PSB 2006 masih kental dengan nuansa komersialisasi pendidikan yang “berlindung” dalam “sumbangan pendidikan” juga sangat ironis, yaitu minim empati terhadap anak didik korban gempa. Padahal “sumbangan pendidikan” oleh pembuat kebijakan UU Sisdiknas bukanlah berarti orang tua siswa an sich namun pihak swasta yang memiliki modal berlebih dan mau mendukung dunia pendidikan.

Berangkat dari fenomena terulangnya kasus dunia pendidikan DIY tersebut, beberapa elemen masyarakat (sampai saat ini telah tergabung lebih dari 25 elemen) yang terdiri dari forum orang tua atau wali siswa, LSM, organisasi mahasiswa, baik intra maupun ekstra kampus bergabung bersama-sama untuk menyuarakan keprihatinan bersama dan mempunyai “krenteg” (keinginan) akan membentuk kelompok kerja pendidikan murah. Dalam perjalanannya kemudian, dari kajian-kajian bersama yang dilakukan, ternyata konstitusi kita UUD 1945 (pasca amandemen tertuang secara lebih terperinci dalam konteks pemenuhan pendidikan sebagai hak dasar warga negara) telah menjamin setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan dan memang merupakan kewajiban negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya pendidikan merupakan salah satu hak dasar warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh negara (baca: pemerintah sebagai otoritas negara). Sehingga dalam perkembangannya dengan berpijak (berlandaskan) konstitusi RI, Kelompok Kerja Pendidikan Murah kemudian mendeklarasikan nama baru untuk aliansi bersama tersebut menjadi Kelompok Kerja (Pokja) Pendidikan Gratis.

Tujuan
1. Adanya kebijakan pendidikan gratis (tingkat dasar dan menengah) di DIY sebagai jaminan kongkrit akses pendidikan untuk seluruh warga negara Indonesia umumnya dan DIY khususnya sesuai konstitusi RI UUD 1945.
2. Adanya anggaran publik (APBN dan APBD) yang mendukung pelaksanaan kebijakan pendidikan gratis di DIY.

Aktifitas
1. Diskusi rutin mengundang pemerhati pendidikan diantaranya Prof Dr Wuryadi (Ketua Dewan Pendidikan Propinsi DIY), Bapak Rahmat (Kepala Sekolah SMK N 1 Pandak Bantul), Ki Gunawan (pemerhati pendidikan, staf pengajar Perguruan Taman Siswa), Dr. Gunawan (anggota Komite Rekonstruksi Pendidikan DIY, Staf Pengajar Universitas Negeri Yogyakarta), Eko Prasetyo (Pemerhati Pendidikan, Penulis Buku: “Orang Miskin Dilarang Sekolah”), beberapa anggota DPRD, baik propinsi, maupun Kabupaten dan Kota Yogyakarta, dan stake holder pendidikan yang lain.
2. Konsolidasi rutin dengan mengadakan pertemuan jaringan (tempat secara bergiliran) sekaligus bagian upaya memperluas jaringan.
3. Kampanye publik dengan aksi massa turun ke jalan untuk sosialisasi ke masayarakat yang lebih luas akan pentingnya pendidikan gratis di DIY antara lain dalam peringatan Hardiknas 2 Mei 2007 (dari LEM UII Cik Di Tiro – perempatan gramedia- SMPN 5 – SMAN 3 – Parkir Abu Bakar Ali – DPRD Propinsi). Kampanye yang diusung yaitu pendidikan gratis untuk rakyat, menolak komersialisasi pendidikan, alokasikan anggaran APBN dan APBD untuk pendidikan gratis dan adili korupsi dunia pendidikan.
4. Seminar dan Lokakarya (Semiloka Pendidikan Gratis) di Aula Bappeda Pemprop DIY “Radyo Suyoso” Kepatihan, 13-14 Februari 2007 dengan melibatkan multi stake holder pendidikan di DIY dan luar DIY yang mempunyai kepedulian terhadap pendidikan.
5. Belajar dari daerah lain di Indonesia yang telah lebih dulu melaksanakan kebijakan pendidikan gratis, yaitu Kabupaten Sukoharjo (Propinsi Jawa Tengah), 5 April 2007. Pelajaran baik yang dapat dipetik adalah pondasi penting pelaksanaan kebijakan pendidikan gratis di Sukoharjo adalah merealisasikan amanat konstitusi sekaligus komitmen pemerintah kabupaten demi pemenuhan hak dasar pendidikan.
6. Membuat kertas posisi “konsep dan strategi pelaksanaan pendidikan gratis” di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), April – Mei 2007. Kertas posisi ini memuat landasan normatif kebijakan pendidikan gratis, peta permasalahan pendidikan DIY (baik sisi kebijakan maupun anggaran), upaya mewujudkan PG (strategi kebijakan dan operasionalisasi anggaran), belajar dari daerah lain dan terakhir, kesimpulan serta rekomendasi.
7. Dialog publik dengan DPRD dan Dinas Pendidikan kabupaten Gunung Kidul yang diinisiasi oleh anggota pokja yaitu Ma’arif Institut, 9 April 2007. Sebagai embrio pembahasan rencana pelaksanaan kebijakan pendidikan gratis di Gunung Kidul tahun 2008.
8. Audiensi dengan Drs. Mulyono (Wakil Bupati Kulon Progo) yang diinisiasi oleh anggota Pokja yaitu JAMAS (Jaringan Masyarakat) Peduli Pendidikan Kulon Progo, 5 Mei 2007.
9. Mengkritisi kebijakan PSB 2007 (Pergub/Perwali/Perbup) demi optimalisasi kebijakan pendidikan (PSB).
10. Membuka posko pengaduan sekaligus pemantauan Penerimaan Siswa Baru (PSB) 2007.
11. Dialog membahas “draft kertas posisi pendidikan gratis” Pokja PG dengan pemerhati pendidikan di DIY (Ketua Dewan Pendidikan DIY Prof Wuryadi, Komite Rekonstruksi Pendidikan DIY, forum orang tua siswa peduli pendidikan, dkk.) demi optimalisasi (penyempurnaan) draft kertas posisi.
12. Konferensi pers “Launching kertas posisi keniscayaan pendidikan gratis DIY” Pokja PG kepada masyarakat DIY melalui media massa (cetak dan elektronik).

05 September 2007

Kemana Perginya Sekolah sebagai Lembaga Pendidikan?


Oleh Bagus Sarwono& Vitrin Haryani

Lembaga pendidikan kini mulai mengalami pergeseran nilai. Dulu, saat Ki Hajar Dewantara menyadari keterpurukan pendidikan bangsa ini, beliau mendirikan lembaga pendidikan Taman Siswa dengan tujuan mengangkat harkat dan martabat bangsa ini dengan mencerdaskan anak-anak bangsa. Pendidikan yang dikenal saat itu adalah pendidikan yang membuat manusia menjadi seorang manusia, pendidikan yang humanis, yang membuat manusia menjadi manusia seutuhnya, begitu ungkap Ki Gunawan, salah seorang staf pendidik di Taman Siswa. Bergulirnya sang waktu ternyata mampu mengubah wajah dunia pendidikan yang humanis terseret dalam arus kapitalisasi. Komersialisasi pendidikan menjadi salah satu potret buram pendidikan di Indonesia. Saat ini, ketika bicara sekolah, tentu tidak bisa lepas dari bicara mengenai sejumlah dana yang harus disediakan orang tua atau wali siswa. Kita tidak lagi mengenal sekolah sebagai tempat untuk mengangkat harkat dan martabat manusia, dengan pendidikan yang memanusiakan manusia lagi, tetapi sekolah merupakan salah satu modal untuk mencari uang di kelak kemudian hari.

Fenomena tersebut tentunya disadari oleh banyak pihak yang bersentuhan dengan dunia pendidikan. Lima puluh persen lebih penduduk bangsa ini, yang pernah bersekolah atau menyekolahkan putra-putrinya, mengetahui permasalahan tersebut, apalagi pihak-pihak pengelola sekolah, dan pengambil kebijakan pendidikan. Pertanyaannya, seberapa besar warga negara ini yang peduli dan mau berjuang untuk memperbaiki kondisi pendidikan Indonesia? Kita mengenal Dwi Maryono, seorang sosok yang mulai muncul di media pertengahan tahun 2004.
Sebenarnya, sudah lama Ia memperhatikan masalah pendidikan. Hanya saja orang mulai mengenalnya sejak Agustus 2004. Waktu itu, 18 Agustus 2004, ratusan siswa disalah satu SMA Negeri di Yogyakarta berunjuk rasa atas naiknya uang SPP, tanpa ada pemberitahuan sebelumnya kepada siswa maupun orang tua siswa.
Unjuk rasa ratusan siswa berseragam putih abu-abu tersebut didasari dengan tidak adanya transparansi penggunaan uang sumbangan yang kisarannya antara Rp. 1.750.000,00 s/d Rp. 3.750.000,00 tiap siswa. Siswa mendesak Kepala Sekolah untuk menandatangani penurunan SPP dan sumbangan.
Tuntutan tidak dikabulkan. Dengan dalih bahwa pihak sekolah lebih fokus dalam hal kegiatan pembelajaran “Persoalan menyangkut dana sumbangan atau SPP merupakan kewenangan Komite Sekolah”, begitu kilah kepala sekolah.
Pak Dwi yang saat itu menjadi orang tua dari seorang siswi di SMA tersebut tidak tinggal diam. Dia turut memberikan dukungannya dengan cara yang berbeda. Bapak dari tiga orang anak ini membuat selebaran untuk mengajak orang tua atau wali siswa yang lain berpikir kritis terhadap persoalan tersebut.
Bersama dengan orang tua dan wali siswa yang lain, Pak Dwi melayangkan surat kepada Komite Sekolah dan Kepala Sekolah. Isinya tentang keberatannya terhadap besaran dana sumbangan dan SPP serta mekanisme pengambilan keputusan tanpa keterlibatan siswa maupun orang tua siswa yang merupakan pihak pemberi sumbangan dalam hal ini tentunya. Disamping itu, Pak Dwi juga menyatakan perlunya pihak-pihak yang terkait (Orang tua, Komite Sekolah, dan Sekolah) untuk duduk bersama membicarakan permasalahan yang tengah dihadapi.
Hal yang tidak kaah penting untuk diacungi jempol adalah keberanian Bapak Dwi menandatangani surat tersebut mewakili orang tua atau wali siswa. “Mengapa harus takut, kalau itu untuk perbaikan pendidikan di Yogyakarta dan Indonesia di masa mendatang,” demikian prinsip yang dipegang oleh Bapak yang sehari-harinya beraktifitas sebagai punggawa salah satu kecamatan di Klaten Jawa Tengah ini.
Perjuangannya, akhirnya membuahkan hasil. Total biaya yang harus dikeluarkan oleh orang tua siswa baru menjadi Rp. 1.500.000,00 dari total biaya minimal sebelumnya adalah Rp. 2.500.000,00. Sejak saat itu, sosoknya menjadi akrab di kalangan pemerhati pendidikan di Yogyakarta, baik dari kalangan birokrat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), maupun masyarakat awam.
Tahun 2006 lalu, Dwi Maryono kembali muncul bersama ratusan orang tua dan wali siswa yang tergabung dalam Forum Orang Tua dan Wali Siswa Peduli Pendidikan Yogyakarta. Kemunculannya disebabkan tidak adanya sense of crisis dari sekolah-sekolah di Yogyakarta terhadap gempa bumi yang baru saja terjadi 27 Mei 2006.
Penerimaan Siswa Baru (PSB) 2006, tetap diadakan dengan pungutan tinggi, bahkan mark-up uang seragam yang jumlahnya melebihi biaya pembelian seragam itu sendiri. Sebagai contoh, salah satu SMA di Bantul, total uang yang dipungut untuk seragam biasa Rp 500 ribu/murid. Sedang untuk seragam muslim (jilbab) sebesar Rp 560 ribu/murid. Dengan besaran uang itu, pihak sekolah hanya menyediakan baju seragam putih, abu-abu, seragam pramuka, seragam identitas masing-masing sekolah, badge dan topi.
Padahal, berdasarkan hasil survei di pasaran yang dilakukan oleh Sappurata, salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat yang konsens terhadap isu-isu pendidikan, harga pembelian kain merk Gabardin dan perlengkapan seperti topi dan badge bila ditotal hanya sekitar Rp 159.200/murid. Apabila setiap murid ditarik Rp 500 ribu ada kelebihan sebesar Rp 340.800 atau bila ditarik Rp 560 ribu ada kelebihan dana Rp 400.800. Jumlah itu kemudian dikalikan dengan jumlah murid sebanyak 266 siswa. Kelebihan dana atau anggaran dari mark-up seragam tersebut adalah Rp 100 juta lebih, tapi selama ini, orang tua tidak tahu penggunaan dana tersebut untuk apa.
Pak Dwi Maryono yang saat itu merupakan orang tua dari salah satu anaknya yang menjadi siswa di salah satu SMA di Yogyakarta sudah pernah menanyakan kepada kepala sekolah, namun tidak mendapat jawaban memuaskan. Pihak sekolah maupun komite sekolah bersikukuh tetap menarik sumbangan. Padahal para orangtua murid menginginkan adanya transparansi dalam setiap penarikan sumbangan.
Sebenarnya, dia sudah mengadu ke walikota dan Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, tapi tidak pernah ada jawaban yang memuaskan. Dengan terpaksa, para orang tua dan wali siswa mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Kali ini pihak-pihak yang mendukung perjuangan Pak Dwi semakin banyak. Kalau tahun 2004, hanya pihak orang tua atau wali siswa serta Forum LSM DIY saja, tahun 2006 ini, Sappurata, LBH, Forum LSM DIY, serta orang tua dan wali siswa sekolah lain turut mendukung dan berjuang bersama.
Penerimaan Siswa Baru (PSB), sekolah harus jujur. Jujur di sini, dalam artian adanya transparansi penggunaan dana-dana pungutan yang dilakukan sekolah terhadap orang tua dan wali siswa dan kejujuran atas kegiatan yang direncanakan sekolah apa saja dan membutuhkan biaya berapa.
Orang tua, sering kali merasa tidak berdaya, apabila harus berhadapan dengan pihak sekolah. Kekhawatiran muncul, dikarenakan ketakutan anaknya tidak diterima di sekola, karena tidak membayar dana-dana yang diminta sekolah. Suara kritis dari orang tua atau wali siswa sering kali ditanggapi secara sinis oleh pihak sekolah. Misalnya dengan tanggapan, “Kalau tidak mau mengikuti peraturan di sekolah ini, silakan mencari sekolah yang lain saja.” Hal ini seharusnya tidak dilakukan oleh pihak sekolah, harus ada keterbukaan antara sekolah terhadap kritik dan saran dari orang tua atau wali siswa. Sekolah adalah lembaga pendidikan, bukan lembaga jasa, yang hanya memberikan jasanya ketika dibayar. Sekolah harus dikembalikan pada semangat sebagai lembaga pendidikan, lembaga dimana manusia dididik menjadi manusia seutuhnya.
Beberapa bulan lagi Penerimaan Siswa Baru (PSB) 2007 akan dilaksanakan, harus ada antisipasi supaya kejadian seperti tahun-tahun sebelumnya tidak terulang lagi. Menurut Pak Dwi, orang tua sudah saatnya untuk kritis, tidak takut dengan pihak sekolah. LSM dan mahasiswa, diharapkan mendukung orang tua dan wali siswa dengan mendirikan posko-posko pengaduan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi apabila ada persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh orang tua atau wali siswa sendiri. Lembaga Ombudsman Daerah DIY diharapka npula membantu memediasi, dan memfasilitasi orang tua atau wali siswa untuk bertemu dengan pihak sekolah dalam PSB 2007 ini.
Sistem PSB yang dilakukan sekolah pun harus ada perubahan. Proses penentuan pungutan mestinya diawali dengan membuat RAPBS bersama antara sekolah dengan Komite Sekolah yang diawasi oleh Dinas Pendidikan, jangan dibiarkan berjalan sendiri.
Selain itu, harus ada audit dari pihak yang independen supaya sekolah lebih akuntabel serta mekanisme pertanggungjawabannya jelas. Mutu pendidikan, menurutnya tidak berbanding lurus dengan jumlah biaya yang harus dikeluarkan orang tua dan wali siswa. Berbagai kegiatan kreatif yang tidak membutuhkan biaya besar dapat dilakukan oleh sekolah.
Pihak alumni, serta masyarakat luas dapat dilibatkan dalam memajukan pendidikan dengan memberikan sumbangan dalam bentuk apapun. Seragam, sebagai salah satu cara sekolah mendapatkan “keuntungan” perlu diawasi. Siswa harus kritis, tidak perlu takut dengan pihak sekolah, boleh berunjuk rasa sesuai koridor seorang pelajar. Guru mestinya dikembalikan sebagai sosok yang bisa digugu dan ditiru, serta dapat menjadi teladan yang tertanam di hati siswa-siswanya.