25 September 2007

Undangan Pertemuan Pokja dan Buka Puasa

Pertemuan pokja di Sekretariat GMNI, Rabu, 26 September 2007, jam 15.30 WIB- BB. Alamat Pedak Baru No. 16 Karangbendo Sorowajan Banguntapan Bantul. Cp Sudezdi: 0813 9230 9084

19 September 2007

PENDIDIKAN UNTUK SEMUA: Gratis Bagi Masyarakat, Mahal Bagi Negara


Oleh Sunarto


Pendidikan dasar gratis bagi masyarakat DIY kini terus menjadi perbincangan berbagai kalangan. Bagi mereka yang berada dalam wilayah kekuasaan kependidikan masih beranggapan bahwa pendidikan tidak mungkin gratis. Dibarengi dengan berbagai argumen yang dibangun untuk mencitrakan bahwa pendidikan itu mahal dan perlu partisipasi (uang) masyarakat. Yang menarik adalah sambutan Gubernur DIY pada Hardiknas Mei 2007, yang dapat disimpulkan bahwa pendidikan gratis perlu dipikirkan dan diupayakan di wilayah DIY. Di Propinsi DIY sangat berpotensi, mengklaim sebagai

Kota Pendidikan mestinya lebih mengutamakan warganya agar mudah mendaptkan akses pendidikan secara gratis dan bermutu. Perlu diingat bahwa, di daerah lain sudah bukan hal yang istimewa, seperti Sukoharjo, Jembrana, Banyuasin, Natuna dan lainnya, kini telah menyelenggarakan pendidikan dasar dan menengah gratis bagi warganya. Demikan pula pada daerah yang biaya hidup dan harga keperluan sekolah mahal, Pemprov DKI Jakarta sudah memberikan pembiayaan gratis bagi siswa sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) Negeri di Jakarta.

Harapan dari rintisan dana BOS 2005-2006, Mendiknas berharap, dana BOS itu seharusnya masih ditambah biaya operasional pendidikan (BOP) yang ditanggung APBD sehingga sudah memadai untuk menuntaskan program wajib belajar baik gratis maupun mendekati gratis di Indonesia. BOS adalah subsidi dari pemerintah pusat, tetapi tanggung jawab utama untuk pendidikan dasar dan menengah serta Madrasah Ibtidaiyah kewenangannya ada pada pemerintah kabupaten/kota. BOS itu hanya bantuan saja dari pemerintah pusat terhadap pembiayaan pendidikan kabupaten kota. Jadi mestinya pembiayaan pendidikan yang utama berasal dari pemerintah kabupaten/kota. Namun justru beberapa pemerintah kabupaten/kota yang menjadikan BOS sebagai pendapatan utama sementara anggran daerah hanya sebagai pelengkap saja bahkan ada yang menghentikan sama sekali BOP setelah adanya BOS.

Secara umum di DIY masih menghadapi masalah akses dan pemerataan pendidikan. Masih adanya siswa putus sekolah, baik dengan alasan ekonomi maupun non ekonomi. Disamping itu, kurang meratanya kualitas pendidikan di Propinsi DIY. Pola pikir dan kemampuan profesional guru belum memuaskan, mis. berkaitan dengan implementasi kurikulum baru (KTSP). Sementara beberapa sekolah mencanangkan diri sebagai sekolah standar nasional bahkan internasional yang menurut mereka berkonsekwensi pada kenaikan biaya pendidikan. Menurut para ahli bahwa peningkatan standar ini hanya lebih berkonotasi pada peningkatan teknologi serta sarana dan prasarana saja, namun tidak menyentuh pada subtansi mutu yang sesungguhnya. Akibat klaim standar ini menciptakan opini masyarakat bahwa sekolah-sekolah ini tidak memberikan akses yang adil terutama masyarakat miskin yang ingin memperoleh fasilitas pendidikan dari negara. Yang dikhawatirkan munculnya stigma diskriminasi dalam pendidikan, orang miskin dilarang sekolah di DIY. Mudah-mudahan tidak.

Sesungguhnya kita telah mempunyai komitmen yang dituangkan dalam Peraturan Perundangan terhadap pendidikan di Indonesia, berikut

A.1. Undang-Undang Dasar 1945, Bab XIII, Pasal 31:

(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.

(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya

A.2. Undang-Undang Dasar 1945, Bab XIII, Pasal 31

(3) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

B. UU Sisdiknas tahun No 20 Tahun 2003:

a. Bagian Keempat, Pasal 11

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.

(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.

Bab VIII pasal 34 ayat 2: “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”. Konsekwensi yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah adalah memberikan alokasi dana untuk membiayai seluruh komponen Biaya Satuan Pendidikan, apapun kemampuan keuangan Pemerintah.

Pendidikan gratis yang dimaksud adalah bermakna membebaskan siswa dari seluruh pungutan yang dibebankan pada siswa. Jika kita berkomitmen DIY menuju Wajib Belajar 12 Tahun (Anak usia sekolah wajib menyelesaikan pendidikan minimal SMA/Sederajat) yang dituangkan dalam Grand Strategy Pembangunan di Pemda Propinsi DIY dan RPJM Pemda Propinsi DIY tahun 2006-2011. Implikasinya semua rintangan yang menghalangi anak menempuh pendidikan menengah atas harus dihilangkan. Demikian halnya dalam Visi Pememerintah Kota Jogjakarta yang sering disampaikan dalam berbagai media oleh para pejabat bahwa : Tidak ada penduduk usia sekolah (TK sd SMU/SMK) di Kota Yogyakarta yang tidak sekolah karena alasan ekonomi

Bahwa pendidikan adalah hak warganegara yang harus diberikan oleh negara (Pemerintah) kepada rakyatnya. Kesulitan rakyat terhadap akses memperoleh pendidikan yang merata dan memadai harus disikapi dengan upaya tanggungjawab Pemerintah mewujudkanya melalui alternatif kebijakan yang tepat. Masyarakat yang notabene secara umum belum bisa secara mandiri membiayai proses pendidikan dasar-menengah bukan terus menerus dijadikan sasaran mobilisasi dana. Pemerintahlah yang harus berinisiatif mengupayakan alokasi anggaran dengan strategi dan kebijakan yang berpihak pada rakyatnya bukan senantiasa beralibi pada bayang-bayang kesulitan dan kekhawatiran yang kurang masuk akal. Masyarakat belum melihat pemanfanfaatn anggaran pemerintah secara optimal, karena peluang pemborosan masih sangat lebar. Selain itu belum terasa upaya sungguh-sungguh dari pemerintah melayani masyarakat dalam memperoleh jaminan pendidikan secara wajar.

Kelompok Kerja Pendidikan Gratis Jogjakarta telah mencoba menghitung kebutuhan operasional sekolah dalam satuan Unit Cost dalam bentuk Kertas Posisi. Penghitungan ini berdasarkan hasil survey RAPBS di DIY, berkaitan dengan pemanfaatan dana BOS tahun 2006. Penggunaan dana BOS rata-rata di DIY masih mendekati 48% dari total biaya operasional sekolah. Kekurangannya (52 %) ditambahkan hingga mencapai unit cost kebutuhan sekolah di DIY. Mestinya APBD kita akan menanggung kekurangan dari subsidi dana BOS tsb. Hasil hitungan ini bukan kategori kebutuhan minimal, bahkan dapat dikategorrikan pada level mendekati kebutuhan pelayanan prima.

Hasil kerja Pokja Pendidikan DIY semata-mata ingin memberikan gambaran umum kebutuhan total anggaran yang harus disediakan Pemerintah Kabupaten/ Kota. diharapkan menjadi salah satu acuan, sebagai bahan estimasi prosentase anggaran pendidikan disesuai data. Disimpulkan sementara bahwa kebutuhan total anggaran pendidikan berdasarkan unit cost dikalikan jumlah usia sekolah di masing-masing tingkatan di Kab/ Kota wilayah DIY berkisar 9% dari total APBD. Tentu akan ada variasi antar masing-masing Kabupaten / Kota. Biaya ini berkaitan langsung dengan kebutuhan operasional sekolah, bukan untuk biaya tidak langsung seperti dana pembangunan gedung dsb. Maka diharapkan setiap warga yang terkena wajib belajar akan mendapatkan jaminan biaya sekolah dari Pemerintah. Mudah-mudahan tulisan ini dapat mengundang berbagai pihak untuk turut mendukung mewujudkan Pendidikan Gratis bagi masyarakat dan mahal bagi negara. Karena negara telah berkomitmen untuk mensejahterakan rakyatnya, bukan membiarkan saja warganya “berkompetisi” tidak pasti dalam memperoleh pelayanan pendidikan.

Sunarto, dr

Anggota Pokja Pendidikan Gratis

Tulisan ini pernah dimuat diharian Bernas Jogja pada hari Selasa, 28 Agustus 2007

11 September 2007

PERAN HUKUM DALAM MENGAWAL PENDIDIKAN DI INDIA

PERAN HUKUM DALAM MENGAWAL PENDIDIKAN DI INDIA

“Setiap anak mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan gratis hingga berumur 14 tahun dan selanjutnya menjadi subyek pembatasan dari kapasitas ekonomi dan pembangunan dari negara bagian”
- Uni Krishnan, J.P. dan Ors. Vs. State of Andhara Pradesh and Ors. -

A. Perkembangan Pendidikan di India

India telah menjadi pijakan utama dalam nilai-nilai pembelajaran dari masa ke masa. Namun demikian, ketika negara India memiliki beberapa universitas terbaik di dunia, seperti BITS, ISB, IITs, NITs, IISc, IIMs, AIIMS, mereka masih harus mengatasi tantangan dalam pemenuhan pendidikan dasar guna mencapai angka 100% melek huruf. Pendidikan dasar dan wajib yang bersifat universal, disertai dengan tantangan untuk menjaga anak-anak dari keluarga kurang mampu untuk bersekolah, serta menjaga kualitas pendidikan di daerah pedalaman, menjadi kendala terberat untuk menuntaskan target tersebut. Hingga kini hanya negara bagian Kerala yang telah melakukan pencapaian target tersebut. Seluruh tingkat pendidikan, mulai dari tingkatan pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, menjadi perhatian khusus dari Department of Higher Education dan Departement of School Education and Literacy. Pada tingkatan tersebut diberikan subsidi sangat besar oleh Pemerintah India, meskipun terdapat wacana menjadikan pendidikan tinggi untuk mencari pembiayaan sendiri secara terpisah.

Menurut catatan pemerintah Inggris, pendidikan adat yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat India telah hilang pada abad ke-18 dengan suatu pola di mana terdapat satu sekolah untuk setiap kuil, masjid atau desa yang berada hampir di seluruh wilayah negara India. Bidang pendidikan yang diajarkan pada saat itu meliputi teknik membaca, menulis, aritmatika, teologi, hukum, astronomi, metafisika, etika, ilmu kedokteran, dan agama. Sekolah-sekolah tersebut umunya diikuti oleh perwakilan pelajar dari seluruh lapisan masyarakat.

Sistem pendidikan India saat ini menggunakan pola dan substansi yang diadopsi dari negara barat, di mana pertama kali diperkenalkan oleh negara Inggris pada abad ke-19 yang merupakan rekomendasi dari Macaulay. Struktur tradisional tidaklah dikenal oleh pemerintahan Inggris dan struktur demikian telah dihapuskan pada saat itu juga. Mahatma Gandhi menjelaskan bahwa sistem pendidikan tradisional merupakan suatu pohon ilmu yang sangat indah, namun telah dihancurkan selama berkuasanya Inggris di negara tersebut. Sejarah mencatat bahwa universitas kedokteran pertama di negara bagian Kerala dimulai di Calicut pada tahun 1942-1943 pada masa perang dunia kedua. Dikarenakan kurangnya dokter untuk dapat diabdikan pada tugas militer, Pemerintah Inggris memutuskan untuk membuka cabang Universitas Kedokteran Madras di Malabar yang kemudian berada di bawah Kepresidenan Madras. Setelah berakhirnya perang, universitas kedokteran di Calicut ditutup dan para pelajar tersebut melanjutkan studinya di Universitas Kedokteran Madras.

Dalam kurun waktu 1979-80, Pemerintah India melalui Departemen Pendidikan meluncurkan suatu program bernama Non-Formal Education (NFE) untuk anak-anak berumur kelompok 6 hingga 14 tahun yang tidak dapat bergabung dalam sekolah reguler. Anak-anak ini termasuk mereka yang putus sekolah, anak yang sedang bekerja, anak-anak dari area yang tidak terdapat akses untuk sekolah, dan sebagainya. Fokus utama dari pola ini ditujukan untuk sepuluh negara bagian yang memilik pendidikan terbelakang.. Selanjutnya, program ini diteruskan untuk daerah pedalaman termasuk daerah perbukitan, pedesaan, dan gurun di negara-negara bagian lainnya. Hingga kini program tersebut masih berlangsung di 25 negara bagian. 100% perbantuan diberikan kepada organisasi sosial secara sukarela untuk menjalankan pusat NFE tersebut.

B. Konstitusi India
“Hak untuk memperoleh pendidikan meliputi pendidikan dasar maupun menengah.”

- State of Maharastra Vs. Sant Dhayaneswar Shiksha (2006) 9 SCC 1 -

Menurut Mahkamah Agung India, hak untuk memperoleh pendidikan mengalir dari Pasal 21 Konstitusi India yang memuat tentang perlindungan untuk hidup dan kebebasan pribadi. Isi dan parameternya harus dideterminasikan dan tidak terlepas dari Pasal 41 yang menjamin hak untuk bekerja, bersekolah, dan pertolongan umum di berbagai kondisi. Pada Pasal 45 juga ditegaskan pendidikan gratis dan wajib untuk setiap anak hingga umur 14 tahun. Pengadilan Tinggi telah menyatakan bahwa Pasal-Pasal dari Konstitusi India tersebut dapat dilaksanakan oleh Negara Bagian baik melalui pendirian lembaga pendidikan, mendanai, memperkenalkan dan/atau mencarikan afiliasi untuk menyediakan lembaga pendidikan lainnya.

Perkara Uni Krishnan dan Perkara Mohini Jain merupakan dua perkara yang seringkali menjadi rujukan dalam hal ini. Perkara Uni Krishanan berbeda dengan Perkara Mohoni Jain, di mana dalam perkara tersebut hak untuk memperoleh pendidikan merupakan subyek yang dibatasi oleh kapasitas ekonomi dan pembangunan negara bagian. Setelah bertahun-tahun diputusnya perkara penting ini, situasi menjadi tidak sederhana untuk dipecahkan. Akibatnya, pemerintah mengeluarkan UU Amandemen Konstitusi (amandemen ke-68) pada tahun 2002 dengan menambahkan Pasal 21A. Pasal tersebut secara lengkap dapat dibaca sebagai berikut, “The State shall provide free and compulsory education to all children of the age of 6 to 14 years in such manner as the state mau, by law, determine”.

Ketentuan atas hak untuk memperoleh pendidikan menjadi terkedala untuk mememuhi ekspektasi semula ketika realitas di lapangan menunjukkan hal lain, khususnya realita terhadap masalah kemiskinan. Situasi di India dan seluruh perekonomiannya yang masih dan sedang berkembang yaitu memerangi kemiskinan, di mana terus menjadi akar sejarah perkembangan India. Kemiskinan melahirkan kemiskinan. Mata rantai dari kemiskinan meniadakan ratusan ribu anak-anak untuk memperoleh pendidikan. Progres suatu negara bergantung juga pada pembangunan dari populasinya. Pendidikan merupakan senjata utama untuk mencapai hal yang sama. Bagamanapun juga, penyebaran buta huruf di India akan terus berlanjut jika pemerintah tidak mengalirkan dana yang cukup untuk menjalankan lembaga-lembaga pendidikan miliknya. Setelah lima dekade dari kemerdekaannya, lebih dari 50% dari anak-anak mengalami putus sekolah. Jenis kelamin menjadi salah satu dari pembedaan yang signifikan dari buta huruf, di mana terkarakteristik oleh nilai dan sistem patriarki yang sangat kuat. Tingkat melek huruf mendekati angka 64% untuk laki-laki dan 39% untuk perempuan. Pendidikan adalah suatu nilai dari masyarakat yang berbudaya dan rendahanya mutu pendidikan menjadi salah satu alasan utama dari kejahatan yang sulit untuk ditoleransi.

Oleh karenanya, analisa terhadap Konstitusi India menguatkan adanya eksistensi pasal-pasal mengenai pemberian hak kepada setiap individu untuk mendidik dirinya sendiri. Pasal 45 menggambarkan ketentuan atas pendidikan gratis dan wajib bagi anak-anak. Negara harus berupaya keras untuk menyediakan, pendidikan gratis dan wajib untuk anak-anak hingga mereka berumur 14 tahun dalam jangka waktu sepuluh tahun dari permulaan Konstitusi tersebut. Konsistensi terhadap posisi pasal tersebut lebih menekankan kewajiban Negara daripada daripada orang tua. Undang-undang Wajib Pendidikan yang telah disahkan di 14 Negara Bagian dan 4 Wilayah Kesatuan menyisahkan persoalan impelemtasi akibat tekanan sosial-ekonomi yang menyebabkan anak-anak jauh dari sekolah.

C. Kebijakan Pendidikan India

Kebijakan Nasional Pendidikan 1986 merupakan satu dari beberapa langkah maju yang dilakukan melalui penyediaan pendidikan dasar dan rekomendasi atas pendidikan gratis dan wajib dalam rangka pemenuhan kualitas bagi seluruh anak hingga berumur 14 tahun sebelum abad ke-21. Tujuan dari universalisasi pendidikan dasar bersumber pada tiga aspek: Petama, akses dan pendaftaran secara universal; Kedua, daya ingat yang universal dari anak hingga umur empat belas tahun; dan Ketiga, membawa peningkatan substansial kualitas pendidikan yang memungkinkan seluruh anak untuk mencapai tingkatan yang esensial dalam belajar. Kebijakan pemerintah yaitu untuk memotivasi anak agar menghadiri kelas secara reguler dan untuk meningkatkan fasilitas dalam sistem persekolahan, menyediakan pelatihan untuk guru, dan meningkatkan kemahiran belajar dari anak; serta melaksankan pendidikan wajib dengan langkah-langkah yang mempunyai sanksi.

Upaya lainnya terhadap pemenuhan pendidikan gratis yaitu melalui Pemerintah Negara Bagian, yang telah secara aktif menghapuskan biaya sekolah pada Sekolah Negeri hingga sekolah dasar tingkat atas. Usaha-usaha juga telah dilaksanakan oleh badan-badan lokal dan institusi donor swasta untuk menjadikan pendidikan benar-benar gratis dalam segala hal.

Dalam perkara Coomon cause v. Union of India (Perkara No. 697 Tahun 1993), Pemohon menuntut kepada Pengadilan untuk meminta Pemerintah menyediakan segala fasilitas demi pencapaian target universal, pendidikan gratis dan wajib untuk anak hingga berumur empat belas tahun, paling lambat di akhir tahun 1999. Setelah mendengarkan keterangan para pihak, Hakim yang bersangkutan menolak untuk mengabulkan permohonan Pemohon dan menyarakan kepadanya untuk menarik kembali permohonan tersebut.

Peluang untuk mengesahkan suatu undang-undang mengenai pendidikan gratis dan wajib serta implikasi dalam penerapannya telah dibahas dan menjadi diskursus yang sangat menarik selama sekian tahun. Setelah dilakukan analisa mendalam oleh berbagai ahli, wajib pendidikan dasar juga disadari akan membawa dampak positif terhadap penghapusan buruh anak.

Perkembangan setiap negara maju, dan kini diikuti oleh negara berkembang, mereka telah mendeklarasikan bahwa seluruh anak yang berumur enam hingga duabelas atau empatbelas tahun harus mengenyam pendidikan sekolah dasar. Terlepas dari seberapa besar kebutuhannya, tidak ada satu orang tua pun yang diizinkan untuk memutus pendidikan anak dari sekolah. Bahkan, sekolah yang dihadirinya akan dipantau oleh badan otoritas lokal dan pemerintahnya akan diwajibkan untuk menyediakan sekolah dasar dalam jarak yang wajar untuk seluruh anak dalam usia sekolah. Oleh karenanya, undang-undang yang dibuat memuat kewajiban secara spesifik bagi anak, orang tua, badan-badan lokal, dan pemerintah. Pegawai lokal, para pengajar, dewan pengurus sekolah dapat mengunjungi rumah orang tua sang murid yang telah memindahkan anaknya dari sekolah guna memberitahukan bahwa menghadiri kelas adalah wajib. Dalam waktu beberapa tahun implementasi norma tersebut telah menyadarkan seluruh negeri India bahwa seluruh anak harus datang ke sekolah. Suatu norma seperti ini dapat lebih dilaksanakan oleh berbagai tekanan masyarakat dibandingkan tekanan oleh badan yang berwenang. Salah satu pandangan yang menguatkan ketentuan tersebut bahwa kebijakan ini merupakan ekspresi dari “political will” dan hal tersebut mengirimkan pesan kuat kepada masyarakat internasional bahwa India sangat serius dalam menghapuskan buruh anak.

Terdapat juga satu pemikiran lain yang meyakini bahwa ketentuan hukum dengan menyediakan pendidikan wajib mungkin bukan suatu solusi yang efektif untuk situasi dan keadaan di negara India. Pengalaman dari negara Afrika menunjukan bahwa legislasi seperti wajib sekolah seharusnya tidak diperkenalkan, hal mana terdapat tempat-tempat di mana anak ingin terdaftar di dalamnya tetapi mereka tidak dapat diterima karena minimnya infrastruktur dan ketersediaan ruangan. Negara-negara bagian di India yang hampir mendekati target universalisasi pendidikan dasar seperti di Kerala dan Tamil Nadu, legislasi akan dapat membantu mereka yang keluar dari sekolah. Pemikiran seperti ini memberikan argumen bahwa sangatlah penting untuk tidak hanya meningkatkan anggaran umum pada dunia pendidikan tetapi juga memperkenalkan cara-cara untuk mengurangi pembiayaan sekolah. Walaupun hal tersebut merupakan solusi yang parsial, menurut mereka, hal itu lebih penting untuk kepentingan orang tua yang mungkin merasakan bahwa kesempatan dan biaya sekolah masihlah sangat tinggi. Hal ini secara esensial dapat dilihat sebagai permasalahan sikap, yaitu sikap dari orang tua terhadap pendidikan anak-anak mereka, sikap negara terhadap buruh anak dan terhadap peningkatan kualitas sistem pendidikan. Suatu legislasi tidak dapat dengan sendirinya ditegakkan.Langkah-langkah kuat dalam hal penegakkan juga harus didirikan.

D. Kritik terhadap Sistem Pendidikan India

Pendidikan modern di India seringkali dikritisi karena mendasarkan pada sistem penghafalan. Penekanan ditujukan pada lulusnya nilai ujian dengan persentase yang tinggi. Beberapa institusi memberikan pentingnya pengembangan kepribadian dan kreativitas di antara pelajar. Akhir-akhir ini, pemerintah terbebani dengan menaiknya tingkat bunuh diri dari pelajar dikarenakan kegagalan dan rendahnya nilai, khususnya pada kota-kota besar di India, walaupun kasus seperti ini sangat jarang.

Banyak pihak yang juga mengkritisi terhadap kebijakan reservasi berdasarkan kasta, bahasa, dan agama dalam sistem pendidikan India. Pada kenyataannya hanya sedikit kasta rendah yang memperoleh manfaat dari reservasi tersebut dan juga terjadinya pemalsuan surat keterangan kasta dalam jumlah yang cukup banyak. Lembaga pendidikan juga memberikan kesempatan kepada kaum minoritas (selain Hindu) atau minoritas status bahasa. Lembaga seperti ini, 50% dari kursinya disediakan untuk pelajar dari agama tertentu atau mereka yang mempunyai bahasa ibu tertentu. Misalnya, banyak universitas dijalankan oleh Jesuist dan Salesian memiliki 50% kursi yang disedikan untuk agama Katholik.

Dalam hal bahasa, suatu lembaga dapat membuat ketentuan bagi para pengguna bahasa minoritas hanya pada negara bagian di mana bahasa tersebut bukanlah bahasa resmi. Contohnya, universitas teknik dapat menentukan sendiri sebagai lembaga bahasa minoritas (Hindi) pada negara bagian Maharashtra, di mana bahasa remsinya adalah Marathi, tetapi tidak bisa diterapkan di negara bagian Madhya Pradesh or Uttar Pradesh yang juga menggunakan bahasa resminya Hindi. Reservasi seperti ini di satu sisi memang menguntungkan kaum minoritas, tetapi di sisi lain dapat menjadi penyebab keretakan di antara banyak komunitas. Begitu banyak pelajar dengan nilai rendah diterima masuk, sedangkan mereka yang memiliki nilai baik terkadang tidak dapat diterima. Kritik dilayangkan bahwa reservasi seperti ini sangat mungkin menciptakan kerenggangan di tengah-tengah masyarakat. Korupsi yang menjamur di India juga menjadi wacana penting dalam sistem pendidikan India.

Pendidikan adalah fondasi dasar bagi setiap perbuatan ekonomi dan fondasi ini perlu dilindungi dari perbuatan korupsi dan diskriminasi berbasis elemen-elemen dalam masyarakat. Jika hal ini tidak segera diselesaikan, berbagai sistem pada pemerintahan akan melemah. Oleh karenanya Komisi Hukum India merekomendasikan agar kompleksitasnya sistem pendidikan di India untuk segera diperbaiki, jika tidak sistem peradilan di India pun bisa jadi membuat interpretasi keputusan yang beragam atas sistem yang telah ada.

POKJA PENDIDIKAN GRATIS

POKJA PENDIDIKAN GRATIS

Latar Belakang

Penerimaan Siswa Baru (PSB) Propinsi DIY tahun 2006 lalu di satu segi mulai ada kemajuan dalam sistem pelaksanaan, yaitu sudah mulai digunakannya PSB Real Time Online (RTO) –khususnya di kota Yogyakarta- dengan harapan lebih transparan (penerimaan calon siswa sesuai kemampuan dan meminimalisir KKN) serta cepat diakses banyak pihak utamanya calon siswa dan orang tua siswa. Namun segi lain, mesti diakui PSB 2006 tersebut kembali menuai banyak permasalahan utamanya terkait “komersialisasi dalam pembiayaan pendidikan” utamanya di sekolah-sekolah negeri (yang selama ini telah mendapatkan kucuran dana publik baik APBN maupun APBD). Permasalahan klasik yang terjadi dari tahun ke tahun tersebut semakin mencuat menjadi problem utama masyarakat tatkala “komersialisasi pendidikan” pada PSB 2006 tersebut tetap berlangsung meskipun baru saja terjadi bencana gempa bumi di DIY 27 Mei 2006 lalu. Bencana gempa yang mestinya menumbuhkan empati dan solidaritas kemanusiaan (serta kebangsaan) oleh multi pihak termasuk pengelola pendidikan (pelaksana PSB 2006) karena pasca gempa 27 Mei 2006 tersebut ribuan warga DIY meninggal, cacat (difabel) baru, dan sakit. Belum lagi ratusan ribu rumah rusak berat, sedang dan ringan. Pun banyaknya warga yang kehilangan mata pencahariannya karena hancurnya sentra-sentra perekonomian.

Peraturan tentang Penerimaan Siswa Baru (PSB) memang sudah dibuat, baik di tingkat propinsi, maupun kabupaten/kota di DIY dalam bentuk Pergub, Perwali/Perbup (SK) maupun SE Kepala Dinas Pendidikan Propinsi/Kab/Kota, namun implementasi di lapangan ternyata pungutan oleh sekolah bertajuk “sumbangan pendidikan” kembali terulang dan masih saja amat tinggi hingga jutaan rupiah. Ironinya lagi “sumbangan pendidikan” ini oleh sekolah dipakai untuk menentukan jadi tidaknya calon siswa bersekolah padahal calon siswa sudah diterima dalam seleksi (terlihat jelas, yaitu dengan adanya klausul batas waktu pembayaran dan pernyataan kalau tidak bersedia sama dengan mengundurkan diri). Komite Sekolah yang diharapkan menjadi wakil sekaligus “penyambung aspirasi” orang tua siswa baru sebagian besar cenderung malah diam, bahkan mendukung penuh kebijakan sekolah dalam bentuk pengesahan RAPBS (Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah). Orang tua calon siswa baru (yang sudah lolos seleksi) akhirnya hanya menjadi “obyek” kebijakan pungutan tersebut, karena belum masuk dalam kepengurusan Komite Sekolah.

Dampak komersialisasi pendidikan tersebut, terjadilah kasus pungutan sekolah jutaan rupiah. Dampak tersebut labih diperparah dengan adanya kasus mark-up uang pengadaan seragam yang dilakukan oleh hampir semua sekolah di DIY yang tidak jelas untuk apa sisa uang puluhan, bahkan ratusan juta rupiah keuntungan dari mark-up seragam tersebut. Harus diakui minimnya kontrol (pengawasan) dan lemahnya penegakam hukum atas peraturan PSB tersebut menjadi picu utama dari kembali mencuatnya kasus “komersialisasi pendidikan” disamping memang tidak ada sanksi tegas atas dilanggarnya peraturan tersebut.

Orang tua siswa yang sudah menjadi korban gempa menjadi semakin berat dengan kondisi yang ada tersebut. Banyak cara yang dilakukan orang tua untuk mengatasi permasalahannya tersebut. Ada yang hanya bisa “ngrundel’ saja, namun tetap membayar meski terpaksa dan berat hati (termasuk dengan hutang terlebih dahulu ke pihak lain) demi sekolah putra-putri tercinta, ada yang langsung minta keringanan pembayaran uang “sumbangan pendidikan” di sekolah, ada yang mengadu ke Lembaga Ombudsman Daerah (LOD DIY) DIY, dan ada pula yang minta bantuan advokasi dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pemberitaan di media massa juga mengabarkan langkah lanjutan advokasi, yaitu adanya somasi terhadap beberapa sekolah yang melakukan pungutan saat PSB dan diikuti pelaporan ke Polda DIY membuat kita terhenyak adanya kasus nyata di dunia pendidikan DIY.

Pasca adanya advokasi PSB 2006 ini memang ada sebagian sekolah yang akhirnya “merespon” dengan memberikan kebijakan dispensasi bagi siswa dari keluarga korban gempa (hingga pembebasan sumbangan pendidikan), bahkan ada proses pemeriksaan sebagian kepala sekolah oleh bawasda (namun tidak ada kejelasan hasilnya hingga hari ini). Berangkat dari fakta kelam tersebut secara umum harus diakui belum ada perubahan yang berarti dalam pelaksanaan PSB 2006. PSB 2006 masih kental dengan nuansa komersialisasi pendidikan yang “berlindung” dalam “sumbangan pendidikan” juga sangat ironis, yaitu minim empati terhadap anak didik korban gempa. Padahal “sumbangan pendidikan” oleh pembuat kebijakan UU Sisdiknas bukanlah berarti orang tua siswa an sich namun pihak swasta yang memiliki modal berlebih dan mau mendukung dunia pendidikan.

Berangkat dari fenomena terulangnya kasus dunia pendidikan DIY tersebut, beberapa elemen masyarakat (sampai saat ini telah tergabung lebih dari 25 elemen) yang terdiri dari forum orang tua atau wali siswa, LSM, organisasi mahasiswa, baik intra maupun ekstra kampus bergabung bersama-sama untuk menyuarakan keprihatinan bersama dan mempunyai “krenteg” (keinginan) akan membentuk kelompok kerja pendidikan murah. Dalam perjalanannya kemudian, dari kajian-kajian bersama yang dilakukan, ternyata konstitusi kita UUD 1945 (pasca amandemen tertuang secara lebih terperinci dalam konteks pemenuhan pendidikan sebagai hak dasar warga negara) telah menjamin setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan dan memang merupakan kewajiban negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya pendidikan merupakan salah satu hak dasar warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh negara (baca: pemerintah sebagai otoritas negara). Sehingga dalam perkembangannya dengan berpijak (berlandaskan) konstitusi RI, Kelompok Kerja Pendidikan Murah kemudian mendeklarasikan nama baru untuk aliansi bersama tersebut menjadi Kelompok Kerja (Pokja) Pendidikan Gratis.

Tujuan
1. Adanya kebijakan pendidikan gratis (tingkat dasar dan menengah) di DIY sebagai jaminan kongkrit akses pendidikan untuk seluruh warga negara Indonesia umumnya dan DIY khususnya sesuai konstitusi RI UUD 1945.
2. Adanya anggaran publik (APBN dan APBD) yang mendukung pelaksanaan kebijakan pendidikan gratis di DIY.

Aktifitas
1. Diskusi rutin mengundang pemerhati pendidikan diantaranya Prof Dr Wuryadi (Ketua Dewan Pendidikan Propinsi DIY), Bapak Rahmat (Kepala Sekolah SMK N 1 Pandak Bantul), Ki Gunawan (pemerhati pendidikan, staf pengajar Perguruan Taman Siswa), Dr. Gunawan (anggota Komite Rekonstruksi Pendidikan DIY, Staf Pengajar Universitas Negeri Yogyakarta), Eko Prasetyo (Pemerhati Pendidikan, Penulis Buku: “Orang Miskin Dilarang Sekolah”), beberapa anggota DPRD, baik propinsi, maupun Kabupaten dan Kota Yogyakarta, dan stake holder pendidikan yang lain.
2. Konsolidasi rutin dengan mengadakan pertemuan jaringan (tempat secara bergiliran) sekaligus bagian upaya memperluas jaringan.
3. Kampanye publik dengan aksi massa turun ke jalan untuk sosialisasi ke masayarakat yang lebih luas akan pentingnya pendidikan gratis di DIY antara lain dalam peringatan Hardiknas 2 Mei 2007 (dari LEM UII Cik Di Tiro – perempatan gramedia- SMPN 5 – SMAN 3 – Parkir Abu Bakar Ali – DPRD Propinsi). Kampanye yang diusung yaitu pendidikan gratis untuk rakyat, menolak komersialisasi pendidikan, alokasikan anggaran APBN dan APBD untuk pendidikan gratis dan adili korupsi dunia pendidikan.
4. Seminar dan Lokakarya (Semiloka Pendidikan Gratis) di Aula Bappeda Pemprop DIY “Radyo Suyoso” Kepatihan, 13-14 Februari 2007 dengan melibatkan multi stake holder pendidikan di DIY dan luar DIY yang mempunyai kepedulian terhadap pendidikan.
5. Belajar dari daerah lain di Indonesia yang telah lebih dulu melaksanakan kebijakan pendidikan gratis, yaitu Kabupaten Sukoharjo (Propinsi Jawa Tengah), 5 April 2007. Pelajaran baik yang dapat dipetik adalah pondasi penting pelaksanaan kebijakan pendidikan gratis di Sukoharjo adalah merealisasikan amanat konstitusi sekaligus komitmen pemerintah kabupaten demi pemenuhan hak dasar pendidikan.
6. Membuat kertas posisi “konsep dan strategi pelaksanaan pendidikan gratis” di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), April – Mei 2007. Kertas posisi ini memuat landasan normatif kebijakan pendidikan gratis, peta permasalahan pendidikan DIY (baik sisi kebijakan maupun anggaran), upaya mewujudkan PG (strategi kebijakan dan operasionalisasi anggaran), belajar dari daerah lain dan terakhir, kesimpulan serta rekomendasi.
7. Dialog publik dengan DPRD dan Dinas Pendidikan kabupaten Gunung Kidul yang diinisiasi oleh anggota pokja yaitu Ma’arif Institut, 9 April 2007. Sebagai embrio pembahasan rencana pelaksanaan kebijakan pendidikan gratis di Gunung Kidul tahun 2008.
8. Audiensi dengan Drs. Mulyono (Wakil Bupati Kulon Progo) yang diinisiasi oleh anggota Pokja yaitu JAMAS (Jaringan Masyarakat) Peduli Pendidikan Kulon Progo, 5 Mei 2007.
9. Mengkritisi kebijakan PSB 2007 (Pergub/Perwali/Perbup) demi optimalisasi kebijakan pendidikan (PSB).
10. Membuka posko pengaduan sekaligus pemantauan Penerimaan Siswa Baru (PSB) 2007.
11. Dialog membahas “draft kertas posisi pendidikan gratis” Pokja PG dengan pemerhati pendidikan di DIY (Ketua Dewan Pendidikan DIY Prof Wuryadi, Komite Rekonstruksi Pendidikan DIY, forum orang tua siswa peduli pendidikan, dkk.) demi optimalisasi (penyempurnaan) draft kertas posisi.
12. Konferensi pers “Launching kertas posisi keniscayaan pendidikan gratis DIY” Pokja PG kepada masyarakat DIY melalui media massa (cetak dan elektronik).

05 September 2007

Kemana Perginya Sekolah sebagai Lembaga Pendidikan?


Oleh Bagus Sarwono& Vitrin Haryani

Lembaga pendidikan kini mulai mengalami pergeseran nilai. Dulu, saat Ki Hajar Dewantara menyadari keterpurukan pendidikan bangsa ini, beliau mendirikan lembaga pendidikan Taman Siswa dengan tujuan mengangkat harkat dan martabat bangsa ini dengan mencerdaskan anak-anak bangsa. Pendidikan yang dikenal saat itu adalah pendidikan yang membuat manusia menjadi seorang manusia, pendidikan yang humanis, yang membuat manusia menjadi manusia seutuhnya, begitu ungkap Ki Gunawan, salah seorang staf pendidik di Taman Siswa. Bergulirnya sang waktu ternyata mampu mengubah wajah dunia pendidikan yang humanis terseret dalam arus kapitalisasi. Komersialisasi pendidikan menjadi salah satu potret buram pendidikan di Indonesia. Saat ini, ketika bicara sekolah, tentu tidak bisa lepas dari bicara mengenai sejumlah dana yang harus disediakan orang tua atau wali siswa. Kita tidak lagi mengenal sekolah sebagai tempat untuk mengangkat harkat dan martabat manusia, dengan pendidikan yang memanusiakan manusia lagi, tetapi sekolah merupakan salah satu modal untuk mencari uang di kelak kemudian hari.

Fenomena tersebut tentunya disadari oleh banyak pihak yang bersentuhan dengan dunia pendidikan. Lima puluh persen lebih penduduk bangsa ini, yang pernah bersekolah atau menyekolahkan putra-putrinya, mengetahui permasalahan tersebut, apalagi pihak-pihak pengelola sekolah, dan pengambil kebijakan pendidikan. Pertanyaannya, seberapa besar warga negara ini yang peduli dan mau berjuang untuk memperbaiki kondisi pendidikan Indonesia? Kita mengenal Dwi Maryono, seorang sosok yang mulai muncul di media pertengahan tahun 2004.
Sebenarnya, sudah lama Ia memperhatikan masalah pendidikan. Hanya saja orang mulai mengenalnya sejak Agustus 2004. Waktu itu, 18 Agustus 2004, ratusan siswa disalah satu SMA Negeri di Yogyakarta berunjuk rasa atas naiknya uang SPP, tanpa ada pemberitahuan sebelumnya kepada siswa maupun orang tua siswa.
Unjuk rasa ratusan siswa berseragam putih abu-abu tersebut didasari dengan tidak adanya transparansi penggunaan uang sumbangan yang kisarannya antara Rp. 1.750.000,00 s/d Rp. 3.750.000,00 tiap siswa. Siswa mendesak Kepala Sekolah untuk menandatangani penurunan SPP dan sumbangan.
Tuntutan tidak dikabulkan. Dengan dalih bahwa pihak sekolah lebih fokus dalam hal kegiatan pembelajaran “Persoalan menyangkut dana sumbangan atau SPP merupakan kewenangan Komite Sekolah”, begitu kilah kepala sekolah.
Pak Dwi yang saat itu menjadi orang tua dari seorang siswi di SMA tersebut tidak tinggal diam. Dia turut memberikan dukungannya dengan cara yang berbeda. Bapak dari tiga orang anak ini membuat selebaran untuk mengajak orang tua atau wali siswa yang lain berpikir kritis terhadap persoalan tersebut.
Bersama dengan orang tua dan wali siswa yang lain, Pak Dwi melayangkan surat kepada Komite Sekolah dan Kepala Sekolah. Isinya tentang keberatannya terhadap besaran dana sumbangan dan SPP serta mekanisme pengambilan keputusan tanpa keterlibatan siswa maupun orang tua siswa yang merupakan pihak pemberi sumbangan dalam hal ini tentunya. Disamping itu, Pak Dwi juga menyatakan perlunya pihak-pihak yang terkait (Orang tua, Komite Sekolah, dan Sekolah) untuk duduk bersama membicarakan permasalahan yang tengah dihadapi.
Hal yang tidak kaah penting untuk diacungi jempol adalah keberanian Bapak Dwi menandatangani surat tersebut mewakili orang tua atau wali siswa. “Mengapa harus takut, kalau itu untuk perbaikan pendidikan di Yogyakarta dan Indonesia di masa mendatang,” demikian prinsip yang dipegang oleh Bapak yang sehari-harinya beraktifitas sebagai punggawa salah satu kecamatan di Klaten Jawa Tengah ini.
Perjuangannya, akhirnya membuahkan hasil. Total biaya yang harus dikeluarkan oleh orang tua siswa baru menjadi Rp. 1.500.000,00 dari total biaya minimal sebelumnya adalah Rp. 2.500.000,00. Sejak saat itu, sosoknya menjadi akrab di kalangan pemerhati pendidikan di Yogyakarta, baik dari kalangan birokrat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), maupun masyarakat awam.
Tahun 2006 lalu, Dwi Maryono kembali muncul bersama ratusan orang tua dan wali siswa yang tergabung dalam Forum Orang Tua dan Wali Siswa Peduli Pendidikan Yogyakarta. Kemunculannya disebabkan tidak adanya sense of crisis dari sekolah-sekolah di Yogyakarta terhadap gempa bumi yang baru saja terjadi 27 Mei 2006.
Penerimaan Siswa Baru (PSB) 2006, tetap diadakan dengan pungutan tinggi, bahkan mark-up uang seragam yang jumlahnya melebihi biaya pembelian seragam itu sendiri. Sebagai contoh, salah satu SMA di Bantul, total uang yang dipungut untuk seragam biasa Rp 500 ribu/murid. Sedang untuk seragam muslim (jilbab) sebesar Rp 560 ribu/murid. Dengan besaran uang itu, pihak sekolah hanya menyediakan baju seragam putih, abu-abu, seragam pramuka, seragam identitas masing-masing sekolah, badge dan topi.
Padahal, berdasarkan hasil survei di pasaran yang dilakukan oleh Sappurata, salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat yang konsens terhadap isu-isu pendidikan, harga pembelian kain merk Gabardin dan perlengkapan seperti topi dan badge bila ditotal hanya sekitar Rp 159.200/murid. Apabila setiap murid ditarik Rp 500 ribu ada kelebihan sebesar Rp 340.800 atau bila ditarik Rp 560 ribu ada kelebihan dana Rp 400.800. Jumlah itu kemudian dikalikan dengan jumlah murid sebanyak 266 siswa. Kelebihan dana atau anggaran dari mark-up seragam tersebut adalah Rp 100 juta lebih, tapi selama ini, orang tua tidak tahu penggunaan dana tersebut untuk apa.
Pak Dwi Maryono yang saat itu merupakan orang tua dari salah satu anaknya yang menjadi siswa di salah satu SMA di Yogyakarta sudah pernah menanyakan kepada kepala sekolah, namun tidak mendapat jawaban memuaskan. Pihak sekolah maupun komite sekolah bersikukuh tetap menarik sumbangan. Padahal para orangtua murid menginginkan adanya transparansi dalam setiap penarikan sumbangan.
Sebenarnya, dia sudah mengadu ke walikota dan Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, tapi tidak pernah ada jawaban yang memuaskan. Dengan terpaksa, para orang tua dan wali siswa mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Kali ini pihak-pihak yang mendukung perjuangan Pak Dwi semakin banyak. Kalau tahun 2004, hanya pihak orang tua atau wali siswa serta Forum LSM DIY saja, tahun 2006 ini, Sappurata, LBH, Forum LSM DIY, serta orang tua dan wali siswa sekolah lain turut mendukung dan berjuang bersama.
Penerimaan Siswa Baru (PSB), sekolah harus jujur. Jujur di sini, dalam artian adanya transparansi penggunaan dana-dana pungutan yang dilakukan sekolah terhadap orang tua dan wali siswa dan kejujuran atas kegiatan yang direncanakan sekolah apa saja dan membutuhkan biaya berapa.
Orang tua, sering kali merasa tidak berdaya, apabila harus berhadapan dengan pihak sekolah. Kekhawatiran muncul, dikarenakan ketakutan anaknya tidak diterima di sekola, karena tidak membayar dana-dana yang diminta sekolah. Suara kritis dari orang tua atau wali siswa sering kali ditanggapi secara sinis oleh pihak sekolah. Misalnya dengan tanggapan, “Kalau tidak mau mengikuti peraturan di sekolah ini, silakan mencari sekolah yang lain saja.” Hal ini seharusnya tidak dilakukan oleh pihak sekolah, harus ada keterbukaan antara sekolah terhadap kritik dan saran dari orang tua atau wali siswa. Sekolah adalah lembaga pendidikan, bukan lembaga jasa, yang hanya memberikan jasanya ketika dibayar. Sekolah harus dikembalikan pada semangat sebagai lembaga pendidikan, lembaga dimana manusia dididik menjadi manusia seutuhnya.
Beberapa bulan lagi Penerimaan Siswa Baru (PSB) 2007 akan dilaksanakan, harus ada antisipasi supaya kejadian seperti tahun-tahun sebelumnya tidak terulang lagi. Menurut Pak Dwi, orang tua sudah saatnya untuk kritis, tidak takut dengan pihak sekolah. LSM dan mahasiswa, diharapkan mendukung orang tua dan wali siswa dengan mendirikan posko-posko pengaduan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi apabila ada persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh orang tua atau wali siswa sendiri. Lembaga Ombudsman Daerah DIY diharapka npula membantu memediasi, dan memfasilitasi orang tua atau wali siswa untuk bertemu dengan pihak sekolah dalam PSB 2007 ini.
Sistem PSB yang dilakukan sekolah pun harus ada perubahan. Proses penentuan pungutan mestinya diawali dengan membuat RAPBS bersama antara sekolah dengan Komite Sekolah yang diawasi oleh Dinas Pendidikan, jangan dibiarkan berjalan sendiri.
Selain itu, harus ada audit dari pihak yang independen supaya sekolah lebih akuntabel serta mekanisme pertanggungjawabannya jelas. Mutu pendidikan, menurutnya tidak berbanding lurus dengan jumlah biaya yang harus dikeluarkan orang tua dan wali siswa. Berbagai kegiatan kreatif yang tidak membutuhkan biaya besar dapat dilakukan oleh sekolah.
Pihak alumni, serta masyarakat luas dapat dilibatkan dalam memajukan pendidikan dengan memberikan sumbangan dalam bentuk apapun. Seragam, sebagai salah satu cara sekolah mendapatkan “keuntungan” perlu diawasi. Siswa harus kritis, tidak perlu takut dengan pihak sekolah, boleh berunjuk rasa sesuai koridor seorang pelajar. Guru mestinya dikembalikan sebagai sosok yang bisa digugu dan ditiru, serta dapat menjadi teladan yang tertanam di hati siswa-siswanya.

UU No. 20 tahun 2003 Tentang Sisdiknas

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 2003
TENTANG
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial;

b. bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang;

c. bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan;

d. bahwa Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak memadai lagi dan perlu diganti serta perlu disempurnakan agar sesuai dengan amanat perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, dan d perlu membentuk Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan persetujuan bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:

1. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

2. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.

3. Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

4. Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.

5. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.

6. Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.

7. Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.

8. Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.

9. Jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan.

10. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.

11. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

12. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.

13. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.

14. Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

15. Pendidikan jarak jauh adalah pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media lain.

16. Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat.

17. Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

18. Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah.

19. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

20. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.

21. Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan.

22. Akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dalam satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.

23. Sumber daya pendidikan adalah segala sesuatu yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan yang meliputi tenaga kependidikan, masyarakat, dana, sarana, dan prasarana.

24. Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli pendidikan.

25. Komite sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan.

26. Warga negara adalah warga negara Indonesia baik yang tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

27. Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.

28. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.

29. Pemerintah daerah adalah pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, atau pemerintah kota.

30. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan nasional.

BAB II

DASAR, FUNGSI DAN TUJUAN

Pasal 2

Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 3

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

BAB III

PRINSIP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN

Pasal 4

(1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

(2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.

(3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.

(4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.

(5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.

(6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

BAB IV

HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA,
ORANG TUA, MASYARAKAT, DAN PEMERINTAH

Bagian Kesatu

Hak dan Kewajiban Warga Negara

Pasal 5

(1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.

(2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.

(3) Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.

(4) Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.

(5) Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.

Pasal 6

(1) Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.

(2) Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan

Bagian Kedua

Hak dan Kewajiban Orang Tua

Pasal 7

(1) Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya.

(2) Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya.

Bagian Ketiga

Hak dan Kewajiban Masyarakat

Pasal 8

Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan.

Pasal 9

Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan.

Bagian Keempat

Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah

Pasal 10

Pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 11

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.

(2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.

BAB V

PESERTA DIDIK

Pasal 12

(1) Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak:

a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama;

b. mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya;

c. mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya;

d. mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya;

e. pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara;

f. menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.

(2) Setiap peserta didik berkewajiban:

a. menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan;

b. ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Warga negara asing dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(4) Ketentuan mengenai hak dan kewajiban peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

BAB VI

JALUR, JENJANG, DAN JENIS PENDIDIKAN

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 13

(1) Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.

(2) Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dengan sistem terbuka melalui tatap muka dan/atau melalui jarak jauh.

Pasal 14

Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

Pasal 15

Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.

Pasal 16

Jalur, jenjang, dan jenis pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.

Bagian Kedua

Pendidikan Dasar

Pasal 17

(1) Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.

(2) Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.

(3) Ketentuan mengenai pendidikan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Bagian Ketiga

Pendidikan Menengah

Pasal 18

(1) Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar.

(2) Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan.

(3) Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.

(4) Ketentuan mengenai pendidikan menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Bagian Keempat

Pendidikan Tinggi

Pasal 19

(1) Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi.

(2) Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan sistem terbuka.

Pasal 20

(1) Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas.

(2) Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

(3) Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi.

(4) Ketentuan mengenai perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 21

(1) Perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan pendirian dan dinyatakan berhak menyelenggarakan program pendidikan tertentu dapat memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakannya.

(2) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi dilarang memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi.

(3) Gelar akademik, profesi, atau vokasi hanya digunakan oleh lulusan dari perguruan tinggi yang dinyatakan berhak memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi.

(4) Penggunaan gelar akademik, profesi, atau vokasi lulusan perguruan tinggi hanya dibenarkan dalam bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan.

(5) Penyelenggara pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau penyelenggara pendidikan bukan perguruan tinggi yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa penutupan penyelenggaraan pendidikan.

(6) Gelar akademik, profesi, atau vokasi yang dikeluarkan oleh penyelenggara pendidikan yang tidak sesuai dengan ketentuan ayat (1) atau penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan tidak sah.

(7) Ketentuan mengenai gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 22

Universitas, institut, dan sekolah tinggi yang memiliki program doktor berhak memberikan gelar doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada setiap individu yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau seni.

Pasal 23

(1) Pada universitas, institut, dan sekolah tinggi dapat diangkat guru besar atau profesor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Sebutan guru besar atau profesor hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik di perguruan tinggi.

Pasal 24

(1) Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan.

(2) Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat.

(3) Perguruan tinggi dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat yang pengelolaannya dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas publik.

(4) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 25

(1) Perguruan tinggi menetapkan persyaratan kelulusan untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi.

(2) Lulusan perguruan tinggi yang karya ilmiahnya digunakan untuk memperoleh gelar akademik, profesi, atau vokasi terbukti merupakan jiplakan dicabut gelarnya.

(3) Ketentuan mengenai persyaratan kelulusan dan pencabutan gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Bagian Kelima

Pendidikan Nonformal

Pasal 26

(1) Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.

(2) Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.

(3) Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.

(4) Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.

(5) Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

(6) Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.

(7) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Bagian Keenam

Pendidikan Informal

Pasal 27

(1) Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.

(2) Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.

(3) Ketentuan mengenai pengakuan hasil pendidikan informal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Bagian Ketujuh

Pendidikan Anak Usia Dini

Pasal 28

(1) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.

(2) Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal.

(3) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk taman kanak-kanak (TK), raudatul athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.

(4) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk kelompok bermain (KB), taman penitipan anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.

(5) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

(6) Ketentuan mengenai pendidikan anak usia dini sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Bagian Kedelapan

Pendidikan Kedinasan

Pasal 29

(1) Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen.

(2) Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen.

(3) Pendidikan kedinasan diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal dan nonformal.

(4) Ketentuan mengenai pendidikan kedinasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Bagian Kesembilan

Pendidikan Keagamaan

Pasal 30

(1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.

(3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.

(4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.

(5) Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Bagian Kesepuluh

Pendidikan Jarak Jauh

Pasal 31

(1) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.

(2) Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler.

(3) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan.

(4) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Bagian Kesebelas

Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.

Pasal 32

(1) Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

(2) Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.

(3) Ketentuan mengenai pelaksanaan pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah

BAB VII

BAHASA PENGANTAR

Pasal 33

(1) Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan nasional.

(2) Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu.

(3) Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik.

BAB VIII

WAJIB BELAJAR

Pasal 34

(1) Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar.

(2) Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.

(3) Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

(4) Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

BAB IX

STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN

Pasal 35

(1) Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.

(2) Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.

(3) Pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan.

(4) Ketentuan mengenai standar nasional pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

BAB X

KURIKULUM

Pasal 36

(1) Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

(2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.

(3) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:

a. peningkatan iman dan takwa;

b. peningkatan akhlak mulia;

c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;

d. keragaman potensi daerah dan lingkungan;

e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional;

f. tuntutan dunia kerja;

g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;

h. agama;

i. dinamika perkembangan global; dan

j. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.

(4) Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 37

(1) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:

a. pendidikan agama;

b. pendidikan kewarganegaraan;

c. bahasa;

d. matematika;

e. ilmu pengetahuan alam;

f. ilmu pengetahuan sosial;

g. seni dan budaya;

h. pendidikan jasmani dan olahraga;

i. keterampilan/kejuruan; dan

j. muatan lokal.

(2) Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat:

a. pendidikan agama;

b. pendidikan kewarganegaraan; dan

c. bahasa.

(3) Ketentuan mengenai kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 38

(1) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh Pemerintah.

(2) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten/kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah.

(3) Kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi.

(4) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi.

BAB XI

PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

Pasal 39

(1) Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan.

(2) Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.

Pasal 40

(1) Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh:

a. penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai;

b. penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;

c. pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas;

d. perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual; dan

e. kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.

(2) Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban:

a. menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis;

b. mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan

c. memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.

Pasal 41

(1) Pendidik dan tenaga kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah.

(2) Pengangkatan, penempatan, dan penyebaran pendidik dan tenaga kependidikan diatur oleh lembaga yang mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal.

(3) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu.

(4) Ketentuan mengenai pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 42

(1) Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

(2) Pendidik untuk pendidikan formal pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi dihasilkan oleh perguruan tinggi yang terakreditasi.

(3) Ketentuan mengenai kualifikasi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 43

(1) Promosi dan penghargaan bagi pendidik dan tenaga kependidikan dilakukan berdasarkan latar belakang pendidikan, pengalaman, kemampuan, dan prestasi kerja dalam bidang pendidikan.

(2) Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi.

(3) Ketentuan mengenai promosi, penghargaan, dan sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 44

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah.

(2) Penyelenggara pendidikan oleh masyarakat berkewajiban membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakannya.

(3) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membantu pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan formal yang diselenggarakan oleh masyarakat.

BAB XII

SARANA DAN PRASARANA PENDIDIKAN

Pasal 45

(1) Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik.

(2) Ketentuan mengenai penyediaan sarana dan prasarana pendidikan pada semua satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

BAB XIII

PENDANAAN PENDIDIKAN

Bagian Kesatu

Tanggung Jawab Pendanaan

Pasal 46

(1) Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

(2) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(3) Ketentuan mengenai tanggung jawab pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Bagian Kedua

Sumber Pendanaan Pendidikan

Pasal 47

(1) Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan.

(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Ketentuan mengenai sumber pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Bagian Ketiga

Pengelolaan Dana Pendidikan

Pasal 48

(1) Pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.

(2) Ketentuan mengenai pengelolaan dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Bagian Keempat

Pengalokasian Dana Pendidikan

Pasal 49

(1) Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

(2) Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

(3) Dana pendidikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(4) Dana pendidikan dari Pemerintah kepada pemerintah daerah diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(5) Ketentuan mengenai pengalokasian dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

BAB XIV

PENGELOLAAN PENDIDIKAN

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 50

(1) Pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab menteri.

(2) Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional.

(3) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.

(4) Pemerintah daerah provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah.

(5) Pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.

(6) Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya.

(7) Ketentuan mengenai pengelolaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 51

(1) Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah.

(2) Pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan.

(3) Ketentuan mengenai pengelolaan satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 52

(1) Pengelolaan satuan pendidikan nonformal dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.

(2) Ketentuan mengenai pengelolaan satuan pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Bagian Kedua

Badan Hukum Pendidikan

Pasal 53

(1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

(2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik.

(3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.

(4) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan undang-undang tersendiri.

BAB XV

PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 54

(1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.

(2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.

(3) Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Bagian Kedua

Pendidikan Berbasis Masyarakat

Pasal 55

(1) Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.

(2) Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan.

(3) Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(4) Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

(5) Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Bagian Ketiga

Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah

Pasal 56

(1) Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah.

(2) Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis.

(3) Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.

(4) Ketentuan mengenai pembentukan dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

BAB XVI

EVALUASI, AKREDITASI, DAN SERTIFIKASI

Bagian Kesatu

Evaluasi

Pasal 57

(1) Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

(2) Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan.

Pasal 58

(1) Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.

(2) Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.

Pasal 59

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.

(2) Masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58.

(3) Ketentuan mengenai evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Bagian Kedua

Akreditasi

Pasal 60

(1) Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.

(2) Akreditasi terhadap program dan satuan pendidikan dilakukan oleh Pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik.

(3) Akreditasi dilakukan atas dasar kriteria yang bersifat terbuka.

(4) Ketentuan mengenai akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Bagian Ketiga

Sertifikasi

Pasal 61

(1) Sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi.

(2) Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.

(3) Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi.

(4) Ketentuan mengenai sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

BAB XVII

PENDIRIAN SATUAN PENDIDIKAN

Pasal 62

(1) Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal yang didirikan wajib memperoleh izin Pemerintah atau pemerintah daerah.

(2) Syarat-syarat untuk memperoleh izin meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan.

(3) Pemerintah atau pemerintah daerah memberi atau mencabut izin pendirian satuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(4) Ketentuan mengenai pendirian satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 63

Satuan pendidikan yang didirikan dan diselenggarakan oleh Perwakilan Republik Indonesia di negara lain menggunakan ketentuan undang-undang ini.

BAB XVIII

PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN OLEH LEMBAGA NEGARA LAIN

Pasal 64

Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh perwakilan negara asing di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, bagi peserta didik warga negara asing, dapat menggunakan ketentuan yang berlaku di negara yang bersangkutan atas persetujuan Pemerintah Republik Indonesia.

Pasal 65

(1) Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat menyelenggarakan pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Lembaga pendidikan asing pada tingkat pendidikan dasar dan menengah wajib memberikan pendidikan agama dan kewarganegaraan bagi peserta didik warga negara Indonesia.

(3) Penyelenggaraan pendidikan asing wajib bekerja sama dengan lembaga pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mengikutsertakan tenaga pendidik dan pengelola warga negara Indonesia.

(4) Kegiatan pendidikan yang menggunakan sistem pendidikan negara lain yang diselenggarakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(5) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

BAB XIX

PENGAWASAN

Pasal 66

(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dewan pendidikan, dan komite sekolah/madrasah melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan sesuai dengan kewenangan masing-masing.

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik.

(3) Ketentuan mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

BAB XX

KETENTUAN PIDANA

Pasal 67

(1) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Penyelenggara perguruan tinggi yang dinyatakan ditutup berdasarkan Pasal 21 ayat (5) dan masih beroperasi dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(3) Penyelenggara pendidikan yang memberikan sebutan guru besar atau profesor dengan melanggar Pasal 23 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(4) Penyelenggara pendidikan jarak jauh yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 68

(1) Setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(2) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(3) Setiap orang yang menggunakan gelar lulusan yang tidak sesuai dengan bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(4) Setiap orang yang memperoleh dan/atau menggunakan sebutan guru besar yang tidak sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) dan/atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 69

(1) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak menggunakan ijazah dan/atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) dan ayat (3) yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 70

Lulusan yang karya ilmiah yang digunakannya untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) terbukti merupakan jiplakan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 71

Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin Pemerintah atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

BAB XXI

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 72

Penyelenggaraan pendidikan yang pada saat undang-undang ini diundangkan belum berbentuk badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang yang mengatur badan hukum pendidikan.

Pasal 73

Pemerintah atau pemerintah daerah wajib memberikan izin paling lambat dua tahun kepada satuan pendidikan formal yang telah berjalan pada saat undang-undang ini diundangkan belum memiliki izin.

Pasal 74

Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390) yang ada pada saat diundangkannya undang-undang ini masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan undang-undang ini.

BAB XXII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 75

Semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan undang-undang ini harus diselesaikan paling lambat dua tahun terhitung sejak berlakunya undang-undang ini.

Pasal 76

Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, Undang-Undang Nomor 48/Prp./1960 tentang Pengawasan Pendidikan dan Pengajaran Asing (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 155, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2103) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390) dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 77

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Disahkan di Jakarta

pada tanggal 8 Juli 2003


Presiden Republik Indonesia,




Megawati Soekarnoputri




Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 8 Juli 2003

Sekretaris Negara Republik Indonesia,




Bambang Kesowo






TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI


--------------------------------------------------------------------------------

No.4301

PENDIDIKAN.Sistem Pendidikan Nasional. Warga Negara. Masyarakat. Pemerintah. Pemerintah Daerah. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78)


PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 2003

TENTANG

SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL


I. UMUM

Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Untuk itu, seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan negara Indonesia.

Gerakan reformasi di Indonesia secara umum menuntut diterapkannya prinsip demokrasi, desentralisasi, keadilan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hubungannya dengan pendidikan, prinsip-prinsip tersebut akan memberikan dampak yang mendasar pada kandungan, proses, dan manajemen sistem pendidikan. Selain itu, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat dan memunculkan tuntutan baru dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam sistem pendidikan. Tuntutan tersebut menyangkut pembaharuan sistem pendidikan, di antaranya pembaharuan kurikulum, yaitu diversifikasi kurikulum untuk melayani peserta didik dan potensi daerah yang beragam, diversifikasi jenis pendidikan yang dilakukan secara profesional, penyusunan standar kompetensi tamatan yang berlaku secara nasional dan daerah menyesuaikan dengan kondisi setempat; penyusunan standar kualifikasi pendidik yang sesuai dengan tuntutan pelaksanaan tugas secara profesional; penyusunan standar pendanaan pendidikan untuk setiap satuan pendidikan sesuai prinsip-prinsip pemerataan dan keadilan; pelaksanaan manajemen pendidikan berbasis sekolah dan otonomi perguruan tinggi; serta penyelenggaraan pendidikan dengan sistem terbuka dan multimakna. Pembaharuan sistem pendidikan juga meliputi penghapusan diskriminasi antara pendidikan yang dikelola pemerintah dan pendidikan yang dikelola masyarakat, serta pembedaan antara pendidikan keagamaan dan pendidikan umum.

Pembaharuan sistem pendidikan nasional dilakukan untuk memperbaharui visi, misi, dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Pendidikan nasional mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.

Dengan visi pendidikan tersebut, pendidikan nasional mempunyai misi sebagai berikut:

1. mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;

2. membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar;

3. meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral;

4. meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global; dan

5. memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI.

Berdasarkan visi dan misi pendidikan nasional tersebut, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Pembaharuan sistem pendidikan memerlukan strategi tertentu. Strategi pembangunan pendidikan nasional dalam undang-undang ini meliputi :

1. pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia;

2. pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi;

3. proses pembelajaran yang mendidik dan dialogis;

4. evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi pendidikan yang memberdayakan;

5. peningkatan keprofesionalan pendidik dan tenaga kependidikan;

6. penyediaan sarana belajar yang mendidik;

7. pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan prinsip pemerataan dan berkeadilan;

8. penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata;

9. pelaksanaan wajib belajar;

10. pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan;

11. pemberdayaan peran masyarakat;

12. pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat; dan

13. pelaksanaan pengawasan dalam sistem pendidikan nasional.

Dengan strategi tersebut diharapkan visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional dapat terwujud secara efektif dengan melibatkan berbagai pihak secara aktif dalam penyelenggaraan pendidikan.

Pembaruan sistem pendidikan nasional perlu pula disesuaikan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Sehubungan dengan hal-hal di atas, Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional perlu diperbaharui dan diganti.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas

Pasal 2
Cukup jelas

Pasal 3
Cukup jelas

Pasal 4
Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Pendidikan dengan sistem terbuka adalah pendidikan yang diselenggarakan dengan fleksibilitas pilihan dan waktu penyelesaian program lintas satuan dan jalur pendidikan (multi entry-multi exit system). Peserta didik dapat belajar sambil bekerja, atau mengambil program-program pendidikan pada jenis dan jalur pendidikan yang berbeda secara terpadu dan berkelanjutan melalui pembelajaran tatap muka atau jarak jauh. Pendidikan multimakna adalah proses pendidikan yang diselenggarakan dengan berorientasi pada pembudayaan, pemberdayaan, pembentukan watak dan kepribadian, serta berbagai kecakapan hidup.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Memberdayakan semua komponen masyarakat berarti pendidikan diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat dalam suasana kemitraan dan kerja sama yang saling melengkapi dan memperkuat.

Pasal 5
Cukup jelas

Pasal 6
Cukup jelas

Pasal 7
Cukup jelas

Pasal 8
Cukup jelas

Pasal 9
Cukup jelas

Pasal 10
Cukup jelas

Pasal 11
Cukup jelas

Pasal 12

Ayat (1)

huruf a

Pendidik dan/atau guru agama yang seagama dengan peserta didik difasilitasi dan/atau disediakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kebutuhan satuan pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat (3).

Ayat (1)

huruf b

Pendidik dan/atau guru yang mampu mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan peserta didik difasilitasi dan/atau disediakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kebutuhan satuan pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat (3).

Ayat (1)

huruf c

Cukup jelas

Ayat (1)

huruf d

Cukup jelas

Ayat (1)

huruf e

Cukup jelas

Ayat (1)

huruf f

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 13
Cukup jelas

Pasal 14

Cukup jelas

Pasal 15

Pendidikan umum merupakan pendidikan dasar dan menengah yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu.

Pendidikan akademik merupakan pendidikan tinggi program sarjana dan pascasarjana yang diarahkan terutama pada penguasaan disiplin ilmu pengetahuan tertentu.

Pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus.

Pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu maksimal setara dengan program sarjana.

Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama.

Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.

Pasal 16

Cukup jelas

Pasal 17

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Pendidikan yang sederajat dengan SD/MI adalah program seperti Paket A dan yang sederajat dengan SMP/MTs adalah program seperti Paket B.

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 18

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Pendidikan yang sederajat dengan SMA/MA adalah program seperti paket C.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 19

Cukup jelas

Pasal 20

Ayat (1)

Akademi menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam satu cabang atau sebagian cabang ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni tertentu.

Politeknik menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam sejumlah bidang pengetahuan khusus.

Sekolah tinggi menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau vokasi dalam lingkup satu disiplin ilmu tertentu dan jika memenuhi syarat dapat menyelenggarakan pendidikan profesi.

Institut menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau pendidikan vokasi dalam sekelompok disiplin ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni dan jika memenuhi syarat dapat menyelenggarakan pendidikan profesi.

Universitas menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau pendidikan vokasi dalam sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni dan jika memenuhi syarat dapat menyelenggarakan pendidikan profesi.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 21

Ayat (1)

Gelar akademik yang dimaksud, antara lain, sarjana, magister, dan doktor.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Cukup jelas

Ayat (7)

Cukup jelas

Pasal 22

Cukup jelas

Pasal 23

Ayat (1)

Guru besar atau profesor adalah jabatan fungsional bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan perguruan tinggi.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 24

Cukup jelas

Pasal 25

Cukup jelas

Pasal 26

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Pendidikan kecakapan hidup (life skills) adalah pendidikan yang memberikan kecakapan personal, kecakapan sosial, kecakapan intelektual, dan kecakapan vokasional untuk bekerja atau usaha mandiri.

Pendidikan kepemudaan adalah pendidikan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan kader pemimpin bangsa, seperti organisasi pemuda, pendidikan kepanduan/kepramukaan, keolahragaan, palang merah, pelatihan, kepemimpinan, pecinta alam, serta kewirausahaan.

Pendidikan pemberdayaan perempuan adalah pendidikan untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan.

Pendidikan kesetaraan adalah program pendidikan nonformal yang menyelenggarakan pendidikan umum setara SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA yang mencakup program paket A, paket B, dan paket C.

Pendidikan dan pelatihan kerja dilaksanakan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dengan penekanan pada penguasaan keterampilan fungsional yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Kursus dan pelatihan sebagai bentuk pendidikan berkelanjutan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dengan penekanan pada penguasaan keterampilan, standar kompetensi, pengembangan sikap kewirausahaan serta pengembangan kepribadian profesional. Kursus dan pelatihan dikembangkan melalui sertifikasi dan akreditasi yang bertaraf nasional dan internasional.

Ayat (6)

Cukup jelas

Ayat (7)

Cukup jelas

Pasal 27

Cukup jelas

Pasal 28

Ayat (1)

Pendidikan anak usia dini diselenggarakan bagi anak sejak lahir sampai dengan enam tahun dan bukan merupakan prasyarat untuk mengikuti pendidikan dasar.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Taman kanak-kanak (TK) menyelenggarakan pendidikan untuk mengembangkan kepribadian dan potensi diri sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik.

Raudhatul athfal (RA) menyelenggarakan pendidikan keagamaan Islam yang menanamkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi diri seperti pada taman kanak-kanak.

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Cukup jelas

Pasal 29

Cukup jelas

Pasal 30

Cukup jelas

Pasal 31

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Bentuk pendidikan jarak jauh mencakup program pendidikan tertulis (korespondensi), radio, audio/video, TV, dan/atau berbasis jaringan komputer.

Modus penyelenggaraan pendidikan jarak jauh mencakup pengorganisasian tunggal (single mode), atau bersama tatap muka (dual mode).

Cakupan pendidikan jarak jauh dapat berupa program pendidikan berbasis mata pelajaran/mata kuliah dan/atau program pendidikan berbasis bidang studi.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 32

Cukup jelas

Pasal 33

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Pengajaran bahasa daerah pada jenjang pendidikan dasar di suatu daerah disesuaikan dengan intensitas penggunaannya dalam wilayah yang bersangkutan.

Tahap awal pendidikan adalah pendidikan pada tahun pertama dan kedua sekolah dasar.

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 34

Cukup jelas

Pasal 35

Ayat (1)

Standar isi mencakup ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan ke dalam persyaratan tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.

Kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati.

Standar tenaga kependidikan mencakup persyaratan pendidikan prajabatan dan kelayakan, baik fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan.

Standar sarana dan prasarana pendidikan mencakup ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, dan sumber belajar lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.

Peningkatan secara berencana dan berkala dimaksudkan untuk meningkatkan keunggulan lokal, kepentingan nasional, keadilan, dan kompetisi antarbangsa dalam peradaban dunia.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan bersifat mandiri pada tingkat nasional dan propinsi.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 36

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Pengembangan kurikulum secara berdiversifikasi dimaksudkan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan pada satuan pendidikan dengan kondisi dan kekhasan potensi yang ada di daerah.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 37

Ayat (1)

Pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia.

Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.

Bahan kajian bahasa mencakup bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing dengan pertimbangan:

1. Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional;

2. Bahasa daerah merupakan bahasa ibu peserta didik; dan

3. Bahasa asing terutama bahasa Inggris merupakan bahasa internasional yang sangat penting kegunaannya dalam pergaulan global.

Bahan kajian matematika, antara lain, berhitung, ilmu ukur, dan aljabar dimaksudkan untuk mengembangkan logika dan kemampuan berpikir peserta didik.

Bahan kajian ilmu pengetahuan alam, antara lain, fisika, biologi, dan kimia dimaksudkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis peserta didik terhadap lingkungan alam dan sekitarnya.

Bahan kajian ilmu pengetahuan sosial, antara lain, ilmu bumi, sejarah, ekonomi, kesehatan, dan sebagainya dimaksudkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis peserta didik terhadap kondisi sosial masyarakat.

Bahan kajian seni dan budaya dimaksudkan untuk membentuk karakter peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa seni dan pemahaman budaya. Bahan kajian seni mencakup menulis, menggambar/melukis, menyanyi, dan menari.

Bahan kajian pendidikan jasmani dan olah raga dimaksudkan untuk membentuk karakter peserta didik agar sehat jasmani dan rohani, dan menumbuhkan rasa sportivitas.

Bahan kajian keterampilan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki keterampilan.

Bahan kajian muatan lokal dimaksudkan untuk membentuk pemahaman terhadap potensi di daerah tempat tinggalnya.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 38

Cukup jelas

Pasal 39

Ayat (1)

Tenaga kependidikan meliputi pengelola satuan pendidikan, penilik, pamong belajar, pengawas, peneliti, pengembang, pustakawan, laboran, dan teknisi sumber belajar.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 40

Ayat (1)

huruf a

Yang dimaksud dengan penghasilan yang pantas dan memadai adalah penghasilan yang mencerminkan martabat guru sebagai pendidik yang profesional di atas kebutuhan hidup minimum (KHM).

Yang dimaksud dengan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai, antara lain, jaminan kesehatan dan jaminan hari tua.

huruf b

Cukup jelas

huruf c

Cukup jelas

huruf d

Cukup jelas

huruf e

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 41

Ayat (1)

Pendidik dan tenaga kependidikan dapat bertugas di mana pun dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Pemberian fasilitas oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dimaksudkan untuk menghindari adanya daerah yang kekurangan atau kelebihan pendidik dan tenaga kependidikan, serta juga dimaksudkan untuk peningkatan kualitas satuan pendidikan.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 42

Cukup jelas

Pasal 43

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Program sertifikasi bertujuan untuk memenuhi kualifikasi minimum pendidik yang merupakan bagian dari program pengembangan karier oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 44

Cukup jelas

Pasal 45

Cukup jelas

Pasal 46

Ayat (1)

Sumber pendanaan pendidikan dari pemerintah meliputi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan sumber pendanaan pendidikan dari masyarakat mencakup antara lain sumbangan pendidikan, hibah, wakaf, zakat, pembayaran nadzar, pinjaman, sumbangan perusahaan, keringanan dan penghapusan pajak untuk pendidikan, dan lain-lain penerimaan yang sah.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 47

Cukup jelas

Pasal 48

Cukup jelas

Pasal 49

Ayat (1)

Pemenuhan pendanaan pendidikan dapat dilakukan secara bertahap.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 50

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Yang dimaksud dengan otonomi perguruan tinggi adalah kemandirian perguruan tinggi untuk mengelola sendiri lembaganya.

Ayat (7)

Cukup jelas

Pasal 51

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan manajemen berbasis sekolah/madrasah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah/madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah/madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 52

Cukup jelas

Pasal 53

Ayat (1)

Badan hukum pendidikan dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi penyelenggara dan/atau satuan pendidikan, antara lain, berbentuk badan hukum milik negara (BHMN).

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 54

Cukup jelas

Pasal 55

Ayat (1)

Kekhasan satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat tetap dihargai dan dijamin oleh undang-undang ini.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 56

Cukup jelas

Pasal 57

Cukup jelas

Pasal 58

Cukup jelas

Pasal 59

Cukup jelas

Pasal 60

Cukup jelas

Pasal 61

Cukup jelas

Pasal 62

Cukup jelas

Pasal 63

Cukup jelas

Pasal 64

Cukup jelas

Pasal 65

Ayat (1)

Peraturan perundang-undangan yang dimaksud antara lain mencakup undang-undang tentang imigrasi, pajak, investasi asing, dan tenaga kerja.

Ayat (2)

Pelaksanaan pendidikan agama sesuai dengan ketentuan Pasal 12 ayat (1) huruf a.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Sistem pendidikan negara lain mencakup kurikulum, sistem penilaian, dan penjenjangan pendidikan.

Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 66

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Peraturan pemerintah yang dimaksud dalam ayat ini, antara lain, mengatur tata cara pengawasan dan sanksi administratif.

Pasal 67

Cukup jelas

Pasal 68

Cukup jelas

Pasal 69

Cukup jelas

Pasal 70

Cukup jelas

Pasal 71

Cukup jelas

Pasal 72

Cukup jelas

Pasal 73

Cukup jelas

Pasal 74

Cukup jelas

Pasal 75

Cukup jelas

Pasal 76

Cukup jelas

Pasal 77

Cukup jelas