05 September 2007

Kemana Perginya Sekolah sebagai Lembaga Pendidikan?


Oleh Bagus Sarwono& Vitrin Haryani

Lembaga pendidikan kini mulai mengalami pergeseran nilai. Dulu, saat Ki Hajar Dewantara menyadari keterpurukan pendidikan bangsa ini, beliau mendirikan lembaga pendidikan Taman Siswa dengan tujuan mengangkat harkat dan martabat bangsa ini dengan mencerdaskan anak-anak bangsa. Pendidikan yang dikenal saat itu adalah pendidikan yang membuat manusia menjadi seorang manusia, pendidikan yang humanis, yang membuat manusia menjadi manusia seutuhnya, begitu ungkap Ki Gunawan, salah seorang staf pendidik di Taman Siswa. Bergulirnya sang waktu ternyata mampu mengubah wajah dunia pendidikan yang humanis terseret dalam arus kapitalisasi. Komersialisasi pendidikan menjadi salah satu potret buram pendidikan di Indonesia. Saat ini, ketika bicara sekolah, tentu tidak bisa lepas dari bicara mengenai sejumlah dana yang harus disediakan orang tua atau wali siswa. Kita tidak lagi mengenal sekolah sebagai tempat untuk mengangkat harkat dan martabat manusia, dengan pendidikan yang memanusiakan manusia lagi, tetapi sekolah merupakan salah satu modal untuk mencari uang di kelak kemudian hari.

Fenomena tersebut tentunya disadari oleh banyak pihak yang bersentuhan dengan dunia pendidikan. Lima puluh persen lebih penduduk bangsa ini, yang pernah bersekolah atau menyekolahkan putra-putrinya, mengetahui permasalahan tersebut, apalagi pihak-pihak pengelola sekolah, dan pengambil kebijakan pendidikan. Pertanyaannya, seberapa besar warga negara ini yang peduli dan mau berjuang untuk memperbaiki kondisi pendidikan Indonesia? Kita mengenal Dwi Maryono, seorang sosok yang mulai muncul di media pertengahan tahun 2004.
Sebenarnya, sudah lama Ia memperhatikan masalah pendidikan. Hanya saja orang mulai mengenalnya sejak Agustus 2004. Waktu itu, 18 Agustus 2004, ratusan siswa disalah satu SMA Negeri di Yogyakarta berunjuk rasa atas naiknya uang SPP, tanpa ada pemberitahuan sebelumnya kepada siswa maupun orang tua siswa.
Unjuk rasa ratusan siswa berseragam putih abu-abu tersebut didasari dengan tidak adanya transparansi penggunaan uang sumbangan yang kisarannya antara Rp. 1.750.000,00 s/d Rp. 3.750.000,00 tiap siswa. Siswa mendesak Kepala Sekolah untuk menandatangani penurunan SPP dan sumbangan.
Tuntutan tidak dikabulkan. Dengan dalih bahwa pihak sekolah lebih fokus dalam hal kegiatan pembelajaran “Persoalan menyangkut dana sumbangan atau SPP merupakan kewenangan Komite Sekolah”, begitu kilah kepala sekolah.
Pak Dwi yang saat itu menjadi orang tua dari seorang siswi di SMA tersebut tidak tinggal diam. Dia turut memberikan dukungannya dengan cara yang berbeda. Bapak dari tiga orang anak ini membuat selebaran untuk mengajak orang tua atau wali siswa yang lain berpikir kritis terhadap persoalan tersebut.
Bersama dengan orang tua dan wali siswa yang lain, Pak Dwi melayangkan surat kepada Komite Sekolah dan Kepala Sekolah. Isinya tentang keberatannya terhadap besaran dana sumbangan dan SPP serta mekanisme pengambilan keputusan tanpa keterlibatan siswa maupun orang tua siswa yang merupakan pihak pemberi sumbangan dalam hal ini tentunya. Disamping itu, Pak Dwi juga menyatakan perlunya pihak-pihak yang terkait (Orang tua, Komite Sekolah, dan Sekolah) untuk duduk bersama membicarakan permasalahan yang tengah dihadapi.
Hal yang tidak kaah penting untuk diacungi jempol adalah keberanian Bapak Dwi menandatangani surat tersebut mewakili orang tua atau wali siswa. “Mengapa harus takut, kalau itu untuk perbaikan pendidikan di Yogyakarta dan Indonesia di masa mendatang,” demikian prinsip yang dipegang oleh Bapak yang sehari-harinya beraktifitas sebagai punggawa salah satu kecamatan di Klaten Jawa Tengah ini.
Perjuangannya, akhirnya membuahkan hasil. Total biaya yang harus dikeluarkan oleh orang tua siswa baru menjadi Rp. 1.500.000,00 dari total biaya minimal sebelumnya adalah Rp. 2.500.000,00. Sejak saat itu, sosoknya menjadi akrab di kalangan pemerhati pendidikan di Yogyakarta, baik dari kalangan birokrat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), maupun masyarakat awam.
Tahun 2006 lalu, Dwi Maryono kembali muncul bersama ratusan orang tua dan wali siswa yang tergabung dalam Forum Orang Tua dan Wali Siswa Peduli Pendidikan Yogyakarta. Kemunculannya disebabkan tidak adanya sense of crisis dari sekolah-sekolah di Yogyakarta terhadap gempa bumi yang baru saja terjadi 27 Mei 2006.
Penerimaan Siswa Baru (PSB) 2006, tetap diadakan dengan pungutan tinggi, bahkan mark-up uang seragam yang jumlahnya melebihi biaya pembelian seragam itu sendiri. Sebagai contoh, salah satu SMA di Bantul, total uang yang dipungut untuk seragam biasa Rp 500 ribu/murid. Sedang untuk seragam muslim (jilbab) sebesar Rp 560 ribu/murid. Dengan besaran uang itu, pihak sekolah hanya menyediakan baju seragam putih, abu-abu, seragam pramuka, seragam identitas masing-masing sekolah, badge dan topi.
Padahal, berdasarkan hasil survei di pasaran yang dilakukan oleh Sappurata, salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat yang konsens terhadap isu-isu pendidikan, harga pembelian kain merk Gabardin dan perlengkapan seperti topi dan badge bila ditotal hanya sekitar Rp 159.200/murid. Apabila setiap murid ditarik Rp 500 ribu ada kelebihan sebesar Rp 340.800 atau bila ditarik Rp 560 ribu ada kelebihan dana Rp 400.800. Jumlah itu kemudian dikalikan dengan jumlah murid sebanyak 266 siswa. Kelebihan dana atau anggaran dari mark-up seragam tersebut adalah Rp 100 juta lebih, tapi selama ini, orang tua tidak tahu penggunaan dana tersebut untuk apa.
Pak Dwi Maryono yang saat itu merupakan orang tua dari salah satu anaknya yang menjadi siswa di salah satu SMA di Yogyakarta sudah pernah menanyakan kepada kepala sekolah, namun tidak mendapat jawaban memuaskan. Pihak sekolah maupun komite sekolah bersikukuh tetap menarik sumbangan. Padahal para orangtua murid menginginkan adanya transparansi dalam setiap penarikan sumbangan.
Sebenarnya, dia sudah mengadu ke walikota dan Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, tapi tidak pernah ada jawaban yang memuaskan. Dengan terpaksa, para orang tua dan wali siswa mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Kali ini pihak-pihak yang mendukung perjuangan Pak Dwi semakin banyak. Kalau tahun 2004, hanya pihak orang tua atau wali siswa serta Forum LSM DIY saja, tahun 2006 ini, Sappurata, LBH, Forum LSM DIY, serta orang tua dan wali siswa sekolah lain turut mendukung dan berjuang bersama.
Penerimaan Siswa Baru (PSB), sekolah harus jujur. Jujur di sini, dalam artian adanya transparansi penggunaan dana-dana pungutan yang dilakukan sekolah terhadap orang tua dan wali siswa dan kejujuran atas kegiatan yang direncanakan sekolah apa saja dan membutuhkan biaya berapa.
Orang tua, sering kali merasa tidak berdaya, apabila harus berhadapan dengan pihak sekolah. Kekhawatiran muncul, dikarenakan ketakutan anaknya tidak diterima di sekola, karena tidak membayar dana-dana yang diminta sekolah. Suara kritis dari orang tua atau wali siswa sering kali ditanggapi secara sinis oleh pihak sekolah. Misalnya dengan tanggapan, “Kalau tidak mau mengikuti peraturan di sekolah ini, silakan mencari sekolah yang lain saja.” Hal ini seharusnya tidak dilakukan oleh pihak sekolah, harus ada keterbukaan antara sekolah terhadap kritik dan saran dari orang tua atau wali siswa. Sekolah adalah lembaga pendidikan, bukan lembaga jasa, yang hanya memberikan jasanya ketika dibayar. Sekolah harus dikembalikan pada semangat sebagai lembaga pendidikan, lembaga dimana manusia dididik menjadi manusia seutuhnya.
Beberapa bulan lagi Penerimaan Siswa Baru (PSB) 2007 akan dilaksanakan, harus ada antisipasi supaya kejadian seperti tahun-tahun sebelumnya tidak terulang lagi. Menurut Pak Dwi, orang tua sudah saatnya untuk kritis, tidak takut dengan pihak sekolah. LSM dan mahasiswa, diharapkan mendukung orang tua dan wali siswa dengan mendirikan posko-posko pengaduan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi apabila ada persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh orang tua atau wali siswa sendiri. Lembaga Ombudsman Daerah DIY diharapka npula membantu memediasi, dan memfasilitasi orang tua atau wali siswa untuk bertemu dengan pihak sekolah dalam PSB 2007 ini.
Sistem PSB yang dilakukan sekolah pun harus ada perubahan. Proses penentuan pungutan mestinya diawali dengan membuat RAPBS bersama antara sekolah dengan Komite Sekolah yang diawasi oleh Dinas Pendidikan, jangan dibiarkan berjalan sendiri.
Selain itu, harus ada audit dari pihak yang independen supaya sekolah lebih akuntabel serta mekanisme pertanggungjawabannya jelas. Mutu pendidikan, menurutnya tidak berbanding lurus dengan jumlah biaya yang harus dikeluarkan orang tua dan wali siswa. Berbagai kegiatan kreatif yang tidak membutuhkan biaya besar dapat dilakukan oleh sekolah.
Pihak alumni, serta masyarakat luas dapat dilibatkan dalam memajukan pendidikan dengan memberikan sumbangan dalam bentuk apapun. Seragam, sebagai salah satu cara sekolah mendapatkan “keuntungan” perlu diawasi. Siswa harus kritis, tidak perlu takut dengan pihak sekolah, boleh berunjuk rasa sesuai koridor seorang pelajar. Guru mestinya dikembalikan sebagai sosok yang bisa digugu dan ditiru, serta dapat menjadi teladan yang tertanam di hati siswa-siswanya.

Tidak ada komentar: