11 September 2007

POKJA PENDIDIKAN GRATIS

POKJA PENDIDIKAN GRATIS

Latar Belakang

Penerimaan Siswa Baru (PSB) Propinsi DIY tahun 2006 lalu di satu segi mulai ada kemajuan dalam sistem pelaksanaan, yaitu sudah mulai digunakannya PSB Real Time Online (RTO) –khususnya di kota Yogyakarta- dengan harapan lebih transparan (penerimaan calon siswa sesuai kemampuan dan meminimalisir KKN) serta cepat diakses banyak pihak utamanya calon siswa dan orang tua siswa. Namun segi lain, mesti diakui PSB 2006 tersebut kembali menuai banyak permasalahan utamanya terkait “komersialisasi dalam pembiayaan pendidikan” utamanya di sekolah-sekolah negeri (yang selama ini telah mendapatkan kucuran dana publik baik APBN maupun APBD). Permasalahan klasik yang terjadi dari tahun ke tahun tersebut semakin mencuat menjadi problem utama masyarakat tatkala “komersialisasi pendidikan” pada PSB 2006 tersebut tetap berlangsung meskipun baru saja terjadi bencana gempa bumi di DIY 27 Mei 2006 lalu. Bencana gempa yang mestinya menumbuhkan empati dan solidaritas kemanusiaan (serta kebangsaan) oleh multi pihak termasuk pengelola pendidikan (pelaksana PSB 2006) karena pasca gempa 27 Mei 2006 tersebut ribuan warga DIY meninggal, cacat (difabel) baru, dan sakit. Belum lagi ratusan ribu rumah rusak berat, sedang dan ringan. Pun banyaknya warga yang kehilangan mata pencahariannya karena hancurnya sentra-sentra perekonomian.

Peraturan tentang Penerimaan Siswa Baru (PSB) memang sudah dibuat, baik di tingkat propinsi, maupun kabupaten/kota di DIY dalam bentuk Pergub, Perwali/Perbup (SK) maupun SE Kepala Dinas Pendidikan Propinsi/Kab/Kota, namun implementasi di lapangan ternyata pungutan oleh sekolah bertajuk “sumbangan pendidikan” kembali terulang dan masih saja amat tinggi hingga jutaan rupiah. Ironinya lagi “sumbangan pendidikan” ini oleh sekolah dipakai untuk menentukan jadi tidaknya calon siswa bersekolah padahal calon siswa sudah diterima dalam seleksi (terlihat jelas, yaitu dengan adanya klausul batas waktu pembayaran dan pernyataan kalau tidak bersedia sama dengan mengundurkan diri). Komite Sekolah yang diharapkan menjadi wakil sekaligus “penyambung aspirasi” orang tua siswa baru sebagian besar cenderung malah diam, bahkan mendukung penuh kebijakan sekolah dalam bentuk pengesahan RAPBS (Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah). Orang tua calon siswa baru (yang sudah lolos seleksi) akhirnya hanya menjadi “obyek” kebijakan pungutan tersebut, karena belum masuk dalam kepengurusan Komite Sekolah.

Dampak komersialisasi pendidikan tersebut, terjadilah kasus pungutan sekolah jutaan rupiah. Dampak tersebut labih diperparah dengan adanya kasus mark-up uang pengadaan seragam yang dilakukan oleh hampir semua sekolah di DIY yang tidak jelas untuk apa sisa uang puluhan, bahkan ratusan juta rupiah keuntungan dari mark-up seragam tersebut. Harus diakui minimnya kontrol (pengawasan) dan lemahnya penegakam hukum atas peraturan PSB tersebut menjadi picu utama dari kembali mencuatnya kasus “komersialisasi pendidikan” disamping memang tidak ada sanksi tegas atas dilanggarnya peraturan tersebut.

Orang tua siswa yang sudah menjadi korban gempa menjadi semakin berat dengan kondisi yang ada tersebut. Banyak cara yang dilakukan orang tua untuk mengatasi permasalahannya tersebut. Ada yang hanya bisa “ngrundel’ saja, namun tetap membayar meski terpaksa dan berat hati (termasuk dengan hutang terlebih dahulu ke pihak lain) demi sekolah putra-putri tercinta, ada yang langsung minta keringanan pembayaran uang “sumbangan pendidikan” di sekolah, ada yang mengadu ke Lembaga Ombudsman Daerah (LOD DIY) DIY, dan ada pula yang minta bantuan advokasi dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pemberitaan di media massa juga mengabarkan langkah lanjutan advokasi, yaitu adanya somasi terhadap beberapa sekolah yang melakukan pungutan saat PSB dan diikuti pelaporan ke Polda DIY membuat kita terhenyak adanya kasus nyata di dunia pendidikan DIY.

Pasca adanya advokasi PSB 2006 ini memang ada sebagian sekolah yang akhirnya “merespon” dengan memberikan kebijakan dispensasi bagi siswa dari keluarga korban gempa (hingga pembebasan sumbangan pendidikan), bahkan ada proses pemeriksaan sebagian kepala sekolah oleh bawasda (namun tidak ada kejelasan hasilnya hingga hari ini). Berangkat dari fakta kelam tersebut secara umum harus diakui belum ada perubahan yang berarti dalam pelaksanaan PSB 2006. PSB 2006 masih kental dengan nuansa komersialisasi pendidikan yang “berlindung” dalam “sumbangan pendidikan” juga sangat ironis, yaitu minim empati terhadap anak didik korban gempa. Padahal “sumbangan pendidikan” oleh pembuat kebijakan UU Sisdiknas bukanlah berarti orang tua siswa an sich namun pihak swasta yang memiliki modal berlebih dan mau mendukung dunia pendidikan.

Berangkat dari fenomena terulangnya kasus dunia pendidikan DIY tersebut, beberapa elemen masyarakat (sampai saat ini telah tergabung lebih dari 25 elemen) yang terdiri dari forum orang tua atau wali siswa, LSM, organisasi mahasiswa, baik intra maupun ekstra kampus bergabung bersama-sama untuk menyuarakan keprihatinan bersama dan mempunyai “krenteg” (keinginan) akan membentuk kelompok kerja pendidikan murah. Dalam perjalanannya kemudian, dari kajian-kajian bersama yang dilakukan, ternyata konstitusi kita UUD 1945 (pasca amandemen tertuang secara lebih terperinci dalam konteks pemenuhan pendidikan sebagai hak dasar warga negara) telah menjamin setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan dan memang merupakan kewajiban negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya pendidikan merupakan salah satu hak dasar warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh negara (baca: pemerintah sebagai otoritas negara). Sehingga dalam perkembangannya dengan berpijak (berlandaskan) konstitusi RI, Kelompok Kerja Pendidikan Murah kemudian mendeklarasikan nama baru untuk aliansi bersama tersebut menjadi Kelompok Kerja (Pokja) Pendidikan Gratis.

Tujuan
1. Adanya kebijakan pendidikan gratis (tingkat dasar dan menengah) di DIY sebagai jaminan kongkrit akses pendidikan untuk seluruh warga negara Indonesia umumnya dan DIY khususnya sesuai konstitusi RI UUD 1945.
2. Adanya anggaran publik (APBN dan APBD) yang mendukung pelaksanaan kebijakan pendidikan gratis di DIY.

Aktifitas
1. Diskusi rutin mengundang pemerhati pendidikan diantaranya Prof Dr Wuryadi (Ketua Dewan Pendidikan Propinsi DIY), Bapak Rahmat (Kepala Sekolah SMK N 1 Pandak Bantul), Ki Gunawan (pemerhati pendidikan, staf pengajar Perguruan Taman Siswa), Dr. Gunawan (anggota Komite Rekonstruksi Pendidikan DIY, Staf Pengajar Universitas Negeri Yogyakarta), Eko Prasetyo (Pemerhati Pendidikan, Penulis Buku: “Orang Miskin Dilarang Sekolah”), beberapa anggota DPRD, baik propinsi, maupun Kabupaten dan Kota Yogyakarta, dan stake holder pendidikan yang lain.
2. Konsolidasi rutin dengan mengadakan pertemuan jaringan (tempat secara bergiliran) sekaligus bagian upaya memperluas jaringan.
3. Kampanye publik dengan aksi massa turun ke jalan untuk sosialisasi ke masayarakat yang lebih luas akan pentingnya pendidikan gratis di DIY antara lain dalam peringatan Hardiknas 2 Mei 2007 (dari LEM UII Cik Di Tiro – perempatan gramedia- SMPN 5 – SMAN 3 – Parkir Abu Bakar Ali – DPRD Propinsi). Kampanye yang diusung yaitu pendidikan gratis untuk rakyat, menolak komersialisasi pendidikan, alokasikan anggaran APBN dan APBD untuk pendidikan gratis dan adili korupsi dunia pendidikan.
4. Seminar dan Lokakarya (Semiloka Pendidikan Gratis) di Aula Bappeda Pemprop DIY “Radyo Suyoso” Kepatihan, 13-14 Februari 2007 dengan melibatkan multi stake holder pendidikan di DIY dan luar DIY yang mempunyai kepedulian terhadap pendidikan.
5. Belajar dari daerah lain di Indonesia yang telah lebih dulu melaksanakan kebijakan pendidikan gratis, yaitu Kabupaten Sukoharjo (Propinsi Jawa Tengah), 5 April 2007. Pelajaran baik yang dapat dipetik adalah pondasi penting pelaksanaan kebijakan pendidikan gratis di Sukoharjo adalah merealisasikan amanat konstitusi sekaligus komitmen pemerintah kabupaten demi pemenuhan hak dasar pendidikan.
6. Membuat kertas posisi “konsep dan strategi pelaksanaan pendidikan gratis” di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), April – Mei 2007. Kertas posisi ini memuat landasan normatif kebijakan pendidikan gratis, peta permasalahan pendidikan DIY (baik sisi kebijakan maupun anggaran), upaya mewujudkan PG (strategi kebijakan dan operasionalisasi anggaran), belajar dari daerah lain dan terakhir, kesimpulan serta rekomendasi.
7. Dialog publik dengan DPRD dan Dinas Pendidikan kabupaten Gunung Kidul yang diinisiasi oleh anggota pokja yaitu Ma’arif Institut, 9 April 2007. Sebagai embrio pembahasan rencana pelaksanaan kebijakan pendidikan gratis di Gunung Kidul tahun 2008.
8. Audiensi dengan Drs. Mulyono (Wakil Bupati Kulon Progo) yang diinisiasi oleh anggota Pokja yaitu JAMAS (Jaringan Masyarakat) Peduli Pendidikan Kulon Progo, 5 Mei 2007.
9. Mengkritisi kebijakan PSB 2007 (Pergub/Perwali/Perbup) demi optimalisasi kebijakan pendidikan (PSB).
10. Membuka posko pengaduan sekaligus pemantauan Penerimaan Siswa Baru (PSB) 2007.
11. Dialog membahas “draft kertas posisi pendidikan gratis” Pokja PG dengan pemerhati pendidikan di DIY (Ketua Dewan Pendidikan DIY Prof Wuryadi, Komite Rekonstruksi Pendidikan DIY, forum orang tua siswa peduli pendidikan, dkk.) demi optimalisasi (penyempurnaan) draft kertas posisi.
12. Konferensi pers “Launching kertas posisi keniscayaan pendidikan gratis DIY” Pokja PG kepada masyarakat DIY melalui media massa (cetak dan elektronik).

Tidak ada komentar: